PENGANTAR: MUHAMMAD IHSAN TANJUNG............................................................ ix
BAB KE-1: KEADILAN...................................................................................................... 1
BAB KE-2: KEJUJURAN....................................................................................................... 23
BAB KE-3: KEBAIKAN......................................................................................................... 33
BAB KE-4: IKHLASH............................................................................................................ 47
Perjanjian dengan Setan............................................................................................................ 49
BAB KE-5: IHSAN.................................................................................................................. 61
BAB KE-6: KEYAKINAN...................................................................................................... 71
BAB KE-7: UKHUWAH......................................................................................................... 83
- Menghibur Mualaf.................................................................................................................... 87
BAB KE-8: PENGORBANAN................................................................................................ 95
BAB KE-9: KEGAGALAN.................................................................................................. 107
BAB KE-IO: KECERDASAN SOSIAL................................................................................ 121
C_ ’EGALA puji hanya milik Allah ta'ala, Tuhan yang telah berfirman,'"Sesungguhnya pada
kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal." (Yusuf: 111) dan telah memberikan mang untuk memaknai seluruh kisah yang terjadi di dunia secara utuh. Shalawat dan salam tercurah untuk Muhammad saw., rasul yang telah memberikan contoh kepada umatnya tentang cara memaknai dan mengejawantahkan nilai-nilai kebaikan dari kisah orang-orang terdahulu. Dan, Rasul pun telah mewariskan kita kisah-kisah yang mulia dari perjalanan kehidupannya. Kisah-kisah sahabat dan pengikutnya yang terukir dengan tinta emas dalam catatan sejarah kehidupan manusia.
Kehidupan manusia telah bergulir sejak zaman Nabi Adam a.s. dan akan terus bergulir sampai pada waktu yang telah Allah swt. tentukan. Seiring dengan perguliran waktu, umat terdahulu telah menjadi kisah bagi kita dan umat di masa yang akan datang. Umat terdahulu dan kita akan menjadi kisah bagi umat di masa yang akan datang. Demikian halnya dengan kisah orang-orang saleh.
Perjalanan hidup orang-orang saleh merupakan perjalanan hidup manusia umumnya. Mereka merasakan suka dan duka; merasakan kegembiraan dan kesedihan; merasakan kesenangan dan kesusahan; merasakan kelapangan dan kesempitan; serta merasakan kenikmatan dan musibah. Namun, ada perbedaan yang mendasar di antara mereka dengan manusia kebanyakan. Perbedaan itu terletak pada penyikapan orang-orang saleh terhadap hal-hal tersebut.
Orang-orang saleh akan bersyukur ketika mereka mendapat kenikmatan. Dan mereka akan bersabar ketika mendapat musibah. Keduanya merupakan kebaikan dan baik bagi mereka. Oleh sebab itulah, kisah mereka akan selalu dimaknai dengan baik. Inilah yang terkandung dalam Kisah-Kisah Teladan untuk Keluarga: Pengasah Kecerdasan Spiritual. Buku ini memuat kisah orang-orang saleh yang sarat dengan kebaikan, keadilan, kejujuran, keikhlasan, dan pengorbanan. Itulah sebagian nilai-nilai yang dimaknai oleh Dr. Mulyanto dari kisah-kisah yang ada dalam buku ini.
Selain itu, disampaikan dan dimaknai pula kisah orang-orang yang tidak mengenal kata putus asa untuk mencapai sukses. Orang-orang yang memanfaatkan kegagalan dan kekurangannya sebagai titik tolak pencapaian sukses, seperti kisah Stephen King dan Charles Schulz. Sehingga, ketika kita hendak mengambil pelajaran dan memaknai kisah-kisah hidup dengan baik, Kisah Teladan untuk Keluarga: Pengasah Kecerdasan Spiritual telah menghimpunnya menjadi satu. Dari sinilah, kita dapat mengawali pendidikan yang baik dan meletakkan fondasi keteladanan untuk anggota keluarga.
B illah i t-ta i ificj ival-h idayah.
Wallahu a’lam bish-shaioab.
Kisah-Kisah Teladan untuk Keluarga: Pengasah Kecerdasan Spiritual
Pengantar
'Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang
yang mempunyai akal" (Yusuf: 111)
IRMAN Allah swt. di atas merupakan dalil kuat tentang pentingnya periwayatan kisah-kisah bagi kehidupan manusia. Dari berbagai kisah yang disampaikan, kita dapat mengambil pelajaran yang bermanfaat untuk peningkatan makna kehidupan. Dengan demikian, kisah-kisah dapat menjadi nasihat bagi siapapun yang membacanya. Dan, nasihat yang disampaikan melalui pemaparan kisah memiliki kelebihan, yakni bersifat halus atau sindiran.
Orang yang memperoleh pelajaran melalui kisah tidak akan mudah tersinggung. Di samping itu, penyampaian nasihat melalui kisah seringkah menyentuh hati seseorang dan dia tidak akan cepat melupakannya. Maka, secara otomatis, pelajaran yang tersirat dalam kisah tidak mudah dilupakannya. Ketika pelajaran itu melekat dalam ingatan seseorang, besar kemungkinan dirinya akan terpengaruh. Dan, jika telah terpengaruh, ia pun berpeluang untuk mengubah dirinya, mencontoh hal baru yang dapat diambil dari kisah yang disampaikan.
Masalahnya adalah tidak semua kisah mengandung pelajaran yang baik. Di sinilah urgensi buku ini yang ditulis oleh akhi fillah Dr. Mulyanto. Penulis telah membantu kita dengan memilihkan kisah-kisah yang banyak mengandung kebaikan dan menghimpunnya menjadi satu. Kisah-kisah yang disampaikan berasal dari berbagai sumber, yakni Al-Qur'an, pesan- pesan mulia Nabi Muhammad saw., perjalanan salafus shaleh, pengalaman aktivis dakwah di zaman ini, dan pengalaman orang-orang umum di Barat.
Saya merasa bangga, karena ada orang yang memiliki latar belakang pendidikan sains dan teknologi, berkenan dan mampu menulis buku yang bernuansa ilmu humaniora. Ini membuktikan bahwa dalam tradisi keilmuan umat Islam, tidak dikenal adanya dikotomi ilmu eksata dengan ilmu sosial.
Dalam buku Kisah-Kisah Teladan untuk Keluarga: Pengasah Kecerdasan Spiritual ini saya temukan begitu banyak pelajaran yang membekas di dalam hati. Semoga kebaikan kisah-kisah ini tidak sekadar menjadi rekreasi mental atau intelektual. Namun, sanggup menggerakkan diri untuk meneladani kebaikan-kebaikan dan menjauhi keburukan-keburukan dari para tokohnya. Inilah sasaran akhir yang saya yakini ingin dituju oleh penulis. Semoga Allah swt. menyampaikan maksud- baiknya dan memberi manfaat bagi kita semua, di dunia dan akhirat. Amin ya mujiibus saa-iliin.
Depok, Mei 2004 Rabi’ul Akhir 1425
Muhammad Ihsan Tanjung
Bismillahirrahmaanirrahiim
Segala puji bagi Allah SWT Yang Maha Mengetahui segala kisah kehidupan manusia, Yang Maha Mengatur skenario yang dipentaskan oleh hamba-hamba-Nya di bumi yang dihamparkan-Nya, Yang Maha Mencerahkan kalbu manusia, sehingga mereka menjadi abdi- Nya yang saleh. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah untuk Rasulullah saw., yang melalui ajarannya muncul manusia-manusia langka pilihan yang menjadi aktor kisah-kisah teladan penguat jiwa.
Dalam kehidupan manusia, kisah-kisah masa lalu orang-orang saleh mempunyai makna besar yang bersifat operasional. Karena, bukan hanya suri teladan yang dapat dipetik atau contoh sikap yang dapat dilihat dengan mudah, tetapi kisah masa lalu adalah sesuatu yang nyata dalam kehidupan manusia, bukan artifisial. Kisah adalah lakon yang pernah dipentaskan manusia, yang secara manusiawi berada dalam bingkai kemanusiaan. Karenanya ruang bagi pengulangan atau peniruan kisah itu dalam kondisi geografis dan waktu yang berbeda atau dalam konteks sosiokultural yang lain, tetap terbuka. Sifat keterbukaan atas pengulangan ini, yang membuat kisah-kisah masa lalu orang-orang saleh menjadi menarik, penting, dan perlu. Dia bisa menjadi tonggak, arah, sekaligus pengingat bagi jalannya sebuah peradaban umat, karena mudah dimengerti oleh generasi berikutnya. Selain itu, kisah orang-orang saleh juga dapat dinikmati sebagai cerita.
Kisah orang-orang saleh adalah makanan (al-ghiza) yang diperlukan oleh jiwa yang gersang dan lavu-yang memerlukan penguatan-di mana pencerapan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dilakukan melalui proses penalaran kalbu. Sambil santai, kisah-kisah itu dapat kita baca dan pahami secara mudah. Logika yang njelimet atau nalar akali yang canggih tidak diperlukan dalam menikmati kisah-kisah masa lalu itu. Inilah titik kelebihan penyampaian nilai- nilai universal dalam bentuk kisah dibandingkan dengan penulisan deskriptif. Karenanya, membaca kisah ibarat menikmati secangkir teh manis hangat.
Penulis merangkum lima puluh kisah memikat dari para salafus saleh maupun para juru dakwah kontemporer-khususnya dai Ikhwanul Muslimin-yang-perlu diketahui umat Islam secara umum dan para juru dakwah khususnya dari berbagai sumber. Kisah-kisah itu dikelompokkan menjadi sepuluh bab. Setiap kisah, penulis tutup dengan kalimat inti dari nilai yang diajarkan dalam kisah yang bersangkutan. Penulis berharap kisah-kisah ini bermanfaat sebagai bahan renungan bagi kaum muslimin dan ilustrasi pelengkap ceramah bagi para dai.
Penulis menyadari bahwa ada kekurangan dalam buku yang ada di hadapan pembaca saat ini. Untuk itulah tegur sapa dari pembaca yang budiman, sangat penulis harapkan bagi penyempurnaan buku ini. Dalam kesempatan ini izinkan penulis mengucapkan terima kasih kepada Lianuddin P. Daulay yang membantu pengetikan dan penataan awal naskah. Penghargaan besar penulis berikan kepada istri dan putra-putri yang penulis sayangi: Umi Zahra,
Haniva Az-Zahra, Asma Jundiyah, dan Muhammad Hisyam, atas pengorbanan waktu yang semestinya menjadi hak mereka. Akhir kata, semoga buku yang ada di hadapan pembaca budiman ini bermanfaat dan menjadi amal saleh bagi penulisnya, amin. Selamat membaca.
Serpong, Februari 2003 Mulyanto
ETELAH menunaikan suatu peperangan. Pada suatu waktu, Khalifah Ah r.a. meletakkan baju perangnya di samping rumah. Ia bermaksud membersihkan dan menyikat baju perang itu sebelum disimpan. Putranya, Hasan, melihat itu dan ingin membantu, namun Ali r.a. ingin melakukannya sendiri.
Namun, sejurus kemudian, belum sempat Ali r.a. membersihkan baju perangnya, baju itu tiba-tiba lenyap. Dengan keheranan Ali r.a. menanyakan kepada para anggota keluarganya, barangkali melihat baju perang itu. Seluruh anggota keluarga merasa tidak memindahkan. Dan mereka semua merasa heran.
Beberapa hari kemudian.
Ali r.a. melihat baju perangnya berada di pasar di tangan seorang Yahudi. Maka ia pun menanyakannya. Si Yahudi bersikeras bahwa baju perang itu miliknya. Sementara Ali r.a. merasa yakin bahwa baju itu adalah miliknya. Maka, Ali r.a. mengadukan persoalan ini kepada qadhi. Beberapa waktu kemudian digelarlah pengadilan. Duduk sebagai terdakwa si Yahudi miskin. Dan Khalifah Ali r.a. sebagai penuntut.
Si Yahudi hadir di pengadilan dengan perasaan waswas. Di dalam hatinya ia membatin, manalah mungkin ia memenangkan pengadilan ini.
Pengadilan muslim dengan qadhi muslim berhadapan dengan kasus yang menimpa amirul mukmininnya. Sedangkan ia hanyalah Yahudi miskin. Pastilah ia akan dihukum keras. Ia sadar dan merasa bersalah telah mencuri baju perang khalifah, tetapi itu pun terpaksa karena diri dan keluarganya sangat lapar. Apakah ada keadilan di ruang pengadilan muslim?
Lamunannya terhenti ketika qadhi kurus masuk ke dalam ruang pengadilan. Namun,
para pegawai pengadilan dan masyarakat yang hadir di persidangan tampak menghormatinya.
Sejurus kemudian qadhi membuka sidang. "Wahai Khalifah apa tuntutan anda kepada terdakwa?” tanyanya tegas.
Khalifah Ali r.a. pun menceritakan perihal hilangnya baju perang miliknya.
"Wahai Khalifah apakah engkau dapat membuktikan kalau baju perang yang ada di tangan terdakwa itu adalah milik engkau?” tanya qadhi.
Ali r.a. tersentak dengan pertanyaannya Qadhi. Ia termenung dan merasa sulit membuktikan. Kemudian dia berkata, "Aku tak mampu membuktikannya wahai Qadhi yang bijak. Namun, anakku Hasan mengetahui bahwa baju perang itu milikku dan hilang saat aku akan membersihkannya.”
Namun sang qadhi menolak saksi dari pihak keluarga. Karena Ali r.a. tak mampu membuktikan, maka akhirnya sang qadhi memutuskan bahwa perkara itu dimenangkan oleh si Yahudi.
Seperti halilintar di tengah hari bolong, si Yahudi tersentak kaget dengan keputusan qadhi kurus berwibawa. Sungguh ia tidak menyangka bahwa ia yang akan menang.
Padahal, sesungguhnya dirinyalah yang mencuri baju perang itu. Apalagi ini adalah pengadilan muslim. Akhirnya, ia mendekati Khalifah Ali r.a
"Wahai Khalifah, sesungguhnya baju perang ini milikmu,” katanya. "Ambillah kembali. Aku sungguh terharu dengan pengadilan ini. Meski aku hanya seorang Yahudi miskin dan engkau adalah amirul mukminin. Ternyata pengadilan muslim memenangkan aku. Sungguh, ini adalah pengadilan yang sangat luar biasa. Dan sungguh, Islam yang mulia tidak memandang jabatan di dalam ruang peradilan,” lanjutnya. ’’Wahai Khalifah Ali”, katanya ’’mulai detik ini aku akan memeluk Islam dan ingin menjadi muslim yang baik," katanya mantap sambil menyodorkan baju perang Ali.
Khalifah Ali r.a. tertegun sejenak. "Wahai Fulan, ambilah baju perang itu untukmu. Aku hadiahkan kepadamu. Aku gembira dengan keislamanmu,” kata Ah r.a. bersemangat. Mereka pulang dari ruang peradilan dengan gembira.
Keadilan adalah magnet yang dapat menundukkan nurani kemanusiaan.
A J»; A
/WAL gerakan ekspansi kaum muslimin dimulai semasa kekhilafahan Umar ibnul Khaththab r.a. Dari jazirah Arab kekuasaan Islam meluas menuju wilayah-wilayah Persia dan ke arah barat menuju Mesir. Kaum muslimin hidup dalam kota-kota dengan kebudayaan lebih dari seribu tahun. Bahasa Arab menjadi bahasa percakapan sehari-hari, perdagangan, pemerintahan, dan ilmu pengetahuan. Kemajuan Islam tampak pula dari sejumlah bangunan megah yang bermunculan di negeri-negeri muslim.
Alkisah, Gubernur Amru bin Ash bermaksud membangun masjid megah untuk kepentingan kaum muslimin. Selain sebagai tempat ibadah yang mempersatukan umat, masjid megah yang akan dibangun juga melambangkan kemakmuran umat. Maka, dengan memobilisasi dana dan tenaga, rencana pembangunan masjid itu pun dilaksanakan. Dukungan penuh kaum muslimin pun diperoleh.
Untuk kepentingan tersebut, terpaksa gubuk reyot milik seorang kakek Yahudi digusur.
Sebenarnya sang kakek Yahudi keberatan dengan penggusuran itu, meski gubuk reyotnya akan diganti dengan rumah yang lebih baik. Keberatan itu disebabkan masih melekatnya kenangan indah bersama anak dan istrinya gubuk itu. Namun, desakan gubernur dan masyarakat membuatnya tak mempunyai pilihan lain.
Dengan rasa kesal dan marah, si kakek Yahudi meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan itu. Meski demikian, ia tak berputus asa. Keyakinannya akan keadilan khalifah Umar bin Khaththab menumbuhkan keberaniannya untuk menghadap khalifah dan menempuh perjalanan jauh ke Madinah.
Setelah bersusah-payah beberapa minggu dalam perjalanan, sampailah ia di rumah khalifah. Ia segera menyampaikan keluh-kesah atas penggusuran rumahnya. Khalifah Umar
pun mendengarkan segala keluh-kesah itu dengan saksama. Setelah itu, khalifah berkata,
’’Wahai Bapak tua," kata Khalifah, ”aku memahami apa yang engkau rasakan," lanjutnya sambil mengambil sepotong tulang. "Ini tulang hewan bersih, ibarat tulang- belulang manusia. Aku goreskan pedangku di sini. Maka serahkanlah tulang ini kepada gubernurmu,” tambah Khalifah Umar sambil menyerahkan tulang yang telah digores pedang kepada kakek Yahudi.
"Apa maksudnya ini Tuan,” tanya kakek Yahudi penasaran. "Apakah aku hanya menyerahkan tulang ini saja kepada gubernur,” tegasnya. "Mungkin khalifah akan menyertakan sepucuk surat bersama tulang ini? ” tanya si kakek lagi. "Apa artinya tulang ini? Apakah tulang ini bisa mengembalikan rumahku?" si kakek membatin.
Khalifah Umar mengangguk dan tersenyum memperhatikan rasa penasaran si kakek Yahudi. Maka si kakek akhirnya kembali ke daerahnya dan menyerahkan tulang bergores pedang pada sang gubernur tanpa sepatah kata pun.
Di luar dugaan si kakek Yahudi. Ketika gubernur mengetahui tulang bergores pedang itu adalah pemberian Khalifah Umar ibnul Khaththab, maka saat itu juga wajah gubernur memucat, tangannya gemetar, lalu air mata pun menetes di pipi gubernur. Si kakek menduga sang gubernur segera kembali normal dengan kewibawaannya dan mampu menguasai perasaannya. Namun sekali lagi sang kakek Yahudi menjadi ter- heran-heran, karena sang gubernur bukannya berhenti menangis, bahkan malah tangisnya semakin keras dan terisak-isak. Badannya berguncang hebat dan wajahnya memutih pucat pasi.
Sungguh sang kakek Yahudi tak pernah menyangka akan mengalami kejadian luar biasa ini. Tak terbayangkan di benaknya kalau tulang bergores pedang tanpa pesan ini mampu membuat Gubernur yang berwibawa menjadi pucat-pasi, gemetar, dan menangis terisak keras. Tak tahan hatinya untuk bertanya.
"Wahai Tuan Gubernur kenapa engkau menangis seperti ini?” tanyanya. "Sungguh aku belum pernah melihat engkau berduka seperti sekarang ini. Padahal yang aku tahu engkau demikian berwibawa dan tegar,” lanjutnya. "Sementara menurutku tak ada yang istimewa dengan tulang itu” katanya lagi. ’’Hanya tulang kambing biasa yang digores pedang. Tak lebih dan tak kurang,”
"Wahai Fulan,” jawab khalifah. "Apakah kau tak memahami pesan khalifah ini?" tegasnya. ’’Manusia datang ke dunia tidak membawa apa-apa. Kemudian mereka pun akan menjadi tulang-belulang putih seperti tulang ini,” kata khalifah sambil menunjukkan tukang yang dipegangnya ke hadapan sang kakek. "Tak ada bekal yang akan dibawa ke hadapan Pencipta kita kecuali amal saleh, perbuatan yang lurus, seperti lurusnya goresan pedang di atas tulang ini. Dan aku sebagai gubernur, berkewajiban menegakkan itu semua. Bahkan, aku harus memulainya lebih dahulu," lanjut Khalifah. "Kalau aku mengingkarinya, maka Khalifah akan melurus- kanku dengan pedangnya, sebagaimana dia membuat garis lurus pada tulang yang keras itu,” lanjut gubernur.
"Wahai Fulan,” kata gubernur. "Bagaimana aku tidak berduka. Ternyata aku sebagai gubernur telah berlaku tidak adil, tidak berbuat lurus dalam kasus penggusuran rumahmu,” tambahnya. "Bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkan ketidak- adilanku itu di hadapan Tuhanku kelak. Nanti ketika aku telah berubah menjadi tulang- belulang tak ada dayaku lagi untuk memperbaiki diri. Maka jadilah aku makhluk yang merugi. Ketika aku melihat tulang bergores
ini, sadarlah aku akan kekhilafanku. Sepertinya kini aku telah menjadi tulang-belulang. Semakin aku menyadari ini, semakin takutlah aku, semakin menangislah aku. Beruntung Khalifah Umar mengingatkan aku,” kata gubernur sambil mengusap air matanya yang meleleh.
Sang kakek Yahudi sungguh terkejut dengan penjelasan itu. Tak disangkanya hati sang gubernur demikian halus. Sangat memperhatikan umatnya dan sangat takut akan ketidakadilan dirinya. "Padahal memang sepantasnya gubuk reyotku dipindah dan digantikan dengan rumah yang lebih layak," sang kakek membatin. "Sebenarnya Gubernur sudah berbuat adil dengan perlakuannya. Justru akulah yang seharusnya tahu diri dan menerima semua ini dengan lega. Karena Gubernur menggusur rumahku untuk membangun masjid bagi kepentingan orang ramai. Akulah yang justru egois dengan kenangan lama terhadap rumah itu,” kata si kakek dalam hatinya.
Dengan mantap akhirnya si kakek Yahudi berkata, ’’Wahai Tuan Gubernur, maafkan aku,’’ katanya. "Aku terlalu mementingkan diriku sendiri. Sekarang aku rela rumahku digusur demi kepentingan kaum muslimin. Jangankan mendapat penggantian rumah yang lebih baik, tak dapat ganti pun aku rela. Aku rela memberikan rumahku dengan segala kenangan yang ada di dalamnya untuk kepentingan bersama. Aku pun tidak ingin hidup dalam kenangan masa lalu,” tegasnya. ’’Wahai Gubernur, saksikanlah mulai hari ini juga aku ingin menjadi muslim. Aku ingin memiliki keagungan hati seperti itu,” yakin si kakek.
Sang gubernur menjadi gembira. Wajahnya kembali cerah. Dipeluknya sang kakek ini. Dan mereka berdua memandangi masjid yang berdiri kokoh, perlambang keagungan hati mereka berdua.
Keadilan dapat membuka sesuatu yang tak dapat dibuka dengan tangan keras manusia.
/OTA Bashrah yang ramai dengan penduduknya yang beragam, masa itu dipimpin oleh Walikota Abu Musa al-Asyari. Ia mempunyai prajurit yang gagah berani, salah satunya yang cukup luar biasa sebutlah si fulan dari suku Badui, yang terkenal polos, terbuka, dan impulsive. Fulan adalah prajurit yang gagah berani, di senangi dan disegani kawan, apalagi di tengah medan pertempuran.
Suatu hari, usai suatu pertempuran, tidak seperti biasanya, fulan langsung menghadap Abu Musa. Entah karena ada dorongan apa, ia datang untuk meminta ghanimah hasil peperangan yang menjadi hak miliknya. Dengan tepat, seperti yang diingatnya, fulan menyebutkan jumlah ghanimah haknya. Jumlah yang dimintanya cukup besar dan membuat kaget Abu Musa.
Setengah percaya dan tidak Abu Musa merenung. Bagaimana membuktikan kebenaran jumlah itu? Dan, bagaimana kalau seluruh prajurit terprovokasi menuntut hal yang sama? Akhirnya, Abu Musa memanggil si Badui dan menyerahkan hanya separo dari yang diminta. Namun, di luar dugaan Abu Musa, si fulan marah. Dengan nada kasar, ia mendesak Abu Musa agar memberikan ghanimah haknya sesuai dengan jumlah yang disebutkan.
Maka ketegangan pun tak ter- hindarkan. Suasana menjadi panas. Abu Musa merasa ke- putusannya sudah tepat, sementara si Badui merasa yakin dengan hitungannya. Dengan marah ia menolak keputusan sang walikota. Sebagai walikota yang bertanggung jawab atas ketenteraman kota, Abu Musa
khawatir kalau penentangan si Badui akan dicontoh prajurit lain, sehingga sulit diatur. Kalau itu terjadi, celakalah kota Bashrah. Keamanan kota menjadi lemah. Bila jadi, yang akan susah adalah kaum muslimin juga. Hal ini tak boleh terjadi, menurut Abu Musa.
Maka Abu Musa mengambil keputusan untuk menghukum si fulan karena penentangannya atas ketetapan walikota dan sebagai pelajaran bagi prajurit lain agar tidak menentang pemimpin mereka. Hukumannya adalah 20 kali cambuk dan cukur gundul.
Hari eksekusi pun tiba. Dengan marah si Badui menerima hukuman itu. Ia merasa ini adalah ketidakadilan. Mengapa orang yang menuntut haknya malah harus menerima hukuman 20 kali cambuk dan kepala diplontos? Padahal Islam mengajarkan keadilan dan bukan penghinaan. Islam mengajarkan pemenuhan hak bukan keangkuhan.
Si Badui sungguh merasa terhina. Apalagi banyak prajurit yang mentertawai ketika penggundulan kepala itu dilakukan. Mereka sepertinya memandang lucu kepada dirinya. Panas membara di hati si Badui. Dengan wajah merah padam dipunguti rambutnya di tengah suara tawa prajurit yang lain. Dia bertekad akan melaporkan ketidakadilan ini kepada Amirul Mukminin, Umar ibnul Khaththab.
Maka pergilah ia menemui Amirul Mukminin ke Madinah dan langsung masuk ke majelis Umar ibnul Khaththab. Dengan marah dia masuk sambil melempar potongan rambut ke hadapan Umar. Tampak kemarahan yang sangat dari wajah dan gerakan si Badui. Hadirin majelis tampak kaget. ’’Betapa beraninya orang ini. Seorang rakyat biasa berbuat tidak sopan di hadapan Umar dengan melemparkan potongan rambut,” kata hati mereka. Mereka cemas dengan apa yang akan terjadi karena mereka mengetahui
ketegasan Umar ibnul Khaththab.
Tapi nampaknya Umar tetap tersenyum ramah kepada si Badui. Sementara itu, dengan lantang dan marah si Badui berteriak, ’’kalau aku tidak takut...”, dan Umar langsung menyambutnya dengan bijaksana, ”Ya benar, kalau kau tidak takut akan api neraka, lalu kenapa?” Akhirnya berceritalah si Badui tentang apa yang dialaminya di Bashrah.
Umar mendengarkan dengan saksama. Setelah itu, ia menulis surat kepada Abu Musa yang intinya, "Seorang rakyatmu telah datang menghadapku di Madinah. Bersiaplah menerima pembalasan kalau engkau melaksanakannya di depan umum, begitu pula kalau kau melaksanakannya secara tersembunyi.”
Membaca surat Umar, Abu Musa terkesiap dan menyadari kesalahannya, yakni tidak memenuhi hak si Badui dan malah menghukumnya. Kesadaran dan kesalehan Abu Musa mendorongnya untuk segera melaksanakan perintah Umar. Sama sekali tidak ada keinginan untuk menunda, apalagi menyembunyikannya. "Biarlah hancur kewi- bawaanku di hadapan rakyat, yang penting aku telah menebus kesalahanku, dan memenuhi hak orang lain. Apa artinya rasa malu di dunia, ketimbang pertanyaan Allah swt. kelak di akhirat,” Abu Musa membatin.
Berbeda dengan Abu Musa, sejak kepulangan dari Madinah, si Badui tampak ceria. Kegusarannya hilang tanpa bekas karena telah diterima dengan baik oleh Amirul Mukminin dan sekarang ia dapat membalas perbuatan walikota serta membersihkan kehormatannya.
Keceriaan dan kebijaksanaan Khalifah Umar membuat si Badui kagum. Dalam hatinya muncul perasaan bersalah. ’’Mengapa saya harus balas dendam kepada walikota, padahal keputusan walikota itu tentu atas pertimbangan cermat dalam rangka
mengatur prajurit serta harta pampasan perang? Bagaimana kalau seluruh prajurit bertindak seperti dirinya, apakah tidak menimbulkan kekacauan? Bagaimana pula kalau seluruh prajurit menentang perintah walikota, apa yang akan terjadi dengan keamanan kaum muslimin Bashrah?” batin si Badui. Tetap terselip dalam hati si Badui bahwa ada unsur kebenaran dalam tindakan sang walikota.
Hari pembalasan pun tiba. Abu Musa tertunduk lesu. Pejabat kota dan rakyat pada umumnya merasa marah dengan si Badui dan iba terhadap Abu Musa. "Bagaimana hal ini bisa terjadi? Seorang walikota yang saleh, terhormat, dan sahabat Rasulullah saw. diperlakukan seperti ini oleh seorang rakyat jelata.” keluh mereka. Mereka membujuk agar si Badui memaafkan sang Walikota.
Namun, sebagian rakyat berpendapat, ini adalah hal yang baik. Pembalasan ini menunjukkan keadilan Islam. Siapapun tidak boleh melanggar hak orang lain, meskipun ia seorang walikota. Hak rakyat harus dipenuhi dan keangkuhan harus dihancurkan. Islam mengajarkan, pemimpin adalah pengayom rakyat bukan algojo yang mengeksekusi terhukum.
Aba-aba sudah diberikan. Abu Musa duduk terdiam pasrah. Rakyat memejamkan mata. Iba melihat pemimpinnya diperlakukan demikian. Ada yang berteriak histeris agar si Badui membatalkan pembalasannya. Si Badui berjalan perlahan tapi pasti dengan cambuk ditangan menuju sang walikota. Suasana semakin tegang. Pertempuran terjadi di dalam hati si Badui, ’’Kenapa aku harus membalas dendam, bukankah detik ini kehormatanku sudah pulih? Orang sudah tahu akan kebenaranku, bahkan Amirul
Mukminin juga sudah memahami semua ini. Apakah aku harus mencambuk dan menggunduli Abu Musa, yang baik pada semua orang, yang saleh dan sahabat Rasulullah saw.. Bukankah juga dia menghukumku atas pertimbangan kemaslahatan penduduk kota? Bukan sekadar untuk mengikuti hawa nafsunya. Rambutku juga sebentar lagi akan tumbuh, orang tetap akan hormat kepadaku karena keberanianku menghadap Amirul Mukminin.”
Dipandanginya Abu Musa yang tertunduk lesu. "Detik ini tak ada lagi yang akan menghalangiku untuk membalas sakit hati. Namun, kalau aku memaafkannya, bukankah lebih baik bagiku dan Allah swt. ridha kepadaku?” batinnya kembali. Berbagai perasaan kembali berkecamuk di dalam hati si Badui. Suasana hening. Si Badui menundukkan kepala, berpikir. Akhirnya, dengan mantap si Badui melangkah mendekati Abu Musa dan dihempaskannya cambuk dari tangannya. Dengan haru dia berkata, ”Ya Allah, aku maafkan... aku maafkan.” Hatinya lega dan wajahnya pun menjadi cerah.
Maka suasana pun menjadi ramai, masyarakat bertakbir gembira. Ada yang berloncatan dan saling berpelukan, ada yang menangis gembira, dan banyak yang memuji kelembutan hati si Badui. Abu Musa segera memeluk erat si Badui, mengucapkan terima kasih. Air matanya mengalir basah. Air mata ketulusan hati dan rasa terima kasih kepada si Badui yang pernah dianiayanya. Air mata penyesalan dan tobat kepada Allah swt..
Berbuatlah adil meskipun kepada mereka yang lemah.
Ruh keadilan itu akan terasa bila orang merasakan keadilan itu dari kita.
Penyerbuan Samarkand
/ALAM kala itu sangat gelap. Seorang pemuda keluar dari rumahnya menuju hutan belantara tempat kuil angker dan para dukun bersemayam. Hatinya ciut merasakan jalan menuju kematian. Suara jangkrik dan burung hantu, sesekali lolongan srigala, menambah seram suasana. Dengan menguatkan hati, diayunkan langkahnya menembus kegelapan. Dia harus menghadap ketua dukun Samarkand, menerima tugas untuk kebaikan negerinya yang baru saja ditaklukan kaum muslimin.
Akhirnya tiba jua pemuda itu di kuil senyap dan kelam yang menyiratkan keangkeran. Seorang penjaga yang memberi tanda rahasia menjemputnya. Sungguh kuil yang menakutkan, misterius, dan mendirikan bulu roma.
Dukun-dukun berwajah diingin dan pucat baru selesai sidang. "Wahai pemuda, kemarilah! Engkaulah pilihan kami,” kata ketua dukun berat. Sang pemuda tersentak. Dia berjalan ke hadapan dukun-dukun itu.
"Hanya engkau yang dapat menyelamatkan negeri ini. Pergilah ke Damsyik, temui Amirul Mukminin, dan laporkan bagaimana panglima kaum muslimin menyerbu kota ini tanpa memberikan pilihan kepada kita. Kami menunggumu demi kota ini," kata ketua dukun lirih.
Sang pemuda diam tertunduk. "Demi kota ini dan penduduknya, aku siap!" katanya tegas. Maka pergilah ia. Hari demi hari, minggu demi minggu ia berjalan melewati wilayah- wilayah Islam yang subur dan penduduknya yang ramah. Sungguh! Pengalaman yang mencengangkannya. Berbeda dengan negerinya yang kelam, penuh rahasia, dan prasangka. Kota-kota yang bersih, hijau, cerah, dan ceria. Kota yang dihiasi dengan senyum masyarakat, yang membuatnya sangat tertarik.
Akhirnya sampailah dia di pusat kota, dimana pemerintahan Islam dikendalikan. Hatinya ragu-ragu.
Terbayang betapa sulitnya untuk menghadap raja di negerinya sendiri. Apalagi di negeri orang, negeri kaum muslimin yang megah ini. Pusat pengedalian seluruh wilayah muslim yang sangat luas dan subur. Pasti penjaga istana yang seram dan galak harus dihadapinya.
Dia membesarkan hati. Tugas ini harus dilaksanakan. Ini adalah amanah mulia para dukun dan penduduk negerinya. Maka dimasukinya bangunan termegah, yang dikiranya adalah istana. Tak ada penjaga. Lengang, bersih, terang, dan indah. Ia terus melangkah dan mengagumi bangunan itu. Tiba-tiba, ia berbenturan dengan orang yang baru selesai shalat.
Menyadari keasingan sang pemuda, bapak yang baru saja shalat menegur dan menanyakan maksud serta tujuannya datang ke masjid. Sang pemuda menceritakan seluruh keperluannya kepada bapak tua itu. Dan ia sangat terkejut kalau bangunan ini bukan istana tetapi masjid tempat orang beribadah. Sungguh di luar dugaannya, masjid kaum muslimin demikian indah, bersih, terang, dan luas. Berbeda dengan kuil- kuil di negerinya yang seram, angker, dan penuh kegelapan.
Tak tertahankan oleh ketertarikannya kepada Islam, sang pemuda memohon kepada bapak tua untuk menjelaskan Islam kepadanya. Maka diajarkannya prinsip- prinsip dasar Islam oleh bapak tua itu secara ringkas dan sangat menarik. Si pemuda semakin tak tahan untuk memeluk Islam. Maka dia pun bersyahadat disaksikan si bapak tua. Bapak tua itu menunjukkan rumah Amirul Mukminin. Sebuah rumah yang sederhana.
Berangkatlah si pemuda menuju rumah itu. Setengah tak percaya, yang ditemuinya benar-benar rumah yang sederhana dibanding rumah lainnya. Dilihatnya seorang bapak yang tengah mencat tembok. Ia mem- bayangankan rumah Amirul Mukminin itu besar, megah, dan dijaga para pengawal yang gagah berani lagi menyeramkan. Karena tak yakin, pemuda itu kembali menemui bapak tua. Si bapak tua meyakinkan sekali lagi bahwa rumah sederhana itu adalah kediaman Amirul Mukminin dan yang sedang mengecat rumah itu adalah beliau. Maka sontak si pemuda kembali ke rumah sederhana tadi.
Singkat kata, diceritakanlah semua yang terjadi di Samarkand oleh sang pemuda kepada Amirul Mukminin. Khalifah sungguh terkejut dan segera menulis surat untuk walikota muslim Samarkand agar menggelar pengadilan untuk itu.
Sungguh bahagia hati si pemuda karena berhasil menemui Amirul Mukminin dengan sangat mudah. Mendapatkan keramahan dan hadiah untuk dibawa pulang. Tak terbayang- kan sebelumnya, bahkan sungguh berbeda dengan kenyataan di negerinya sendiri. Hatinya gembira karena telah menjadi muslim. Selama perjalanan pulang, setiap ada panggilan azan dia selalu shalat berjamaah. Dia telah menjadi bagian dari kaum muslimin. Hidupnya terasa indah dan penuh cahaya.
Sesampai di Samarkand, segera dia menghadap ketua dukun, menyerahkan surat untuk walikota dan menceritakan seluruh pengalaman indahnya di negeri muslim kepada para sahabatnya.
Maka waktu pengadilan pun tiba. Panglima Qutaibah didampingi prajurit muslim duduk menjadi terdakwa. Ketua dukun duduk sebagai penuntut mewakili rakyat Samarkand. Mereka siap menunggu kedatangan Qadhi Jumaih bin Hadir al-Baji.
Rasa pesimis menghantui ketua dukun dan penduduk Samarkand. ’’Mana mungkin mereka menang dari pengadilan yang digelar oleh walikota muslim dengan qadhi dari
kaum muslimin yang kurus dan berwajah pucat. Apalagi menghadapi panglima Qutaibah yang gagah perkasa,” kata mereka membatin. Di negeri mereka, kekuasaanlah yang menjadi panglima. Apalagi kasus yang dihadapi Panglima Qutaibah sangat remeh, yakni tak memberikan pilihan kepada penduduk sebelum menaklukan Samarkand- hal yang lumrah dilakukan para panglima perang dari negeri manapun. Apalagi negeri ini jauh dari tempat amirul mukminin. Apakah walikota akan tetap taat kepada pim- pinannnya? Kabut kekhawatiran menyelinap di mata ketua dukun.
Keheningan segera sirna ketika qadhi datang. Semua memberi hormat. Pengadilan dimulai. Dengan tegas si Qadhi bertanya kepada ketua dukun tentang apa yang menjadi tuntutannya. Lalu si Qadhi bertanya kepada Panglima Qutaibah, tentang apa yang dituduhkan. Maka, Panglima Qutaibah membela diri, ’’Wahai Qadhi, memang aku melakukan apa yang dituduhkan itu. Tidak memberi kesempatan bagi penduduk untuk memilih. Namun, bukankah perang adalah tipu daya. Setiap panglima ingin memenangkan pertempurannya, sebagaimana juga aku. Dan ini adalah takdir yang menyelamatkan penduduk Samarkand dari ke- kufuran. Aku merasa tindakanku tidak salah."
Mendengar jawaban Panglima Qutaibah, Qadhi al-Baji dengan suara keras dan berwibawa langsung menjawab, ’’Wahai Panglima dan prajurit kaum muslimin, dengarkanlah aku! Kita keluar dari rumah berjihad fi sabilillah untuk mencari ridha Allah. Kita datang ke negeri ini bukan untuk merampok dan menguasai tanah orang lain. Seperti yang diperintahkan Islam, sebelum menyerang kita harus menawarkan penduduk untuk masuk Islam. Bila tidak bersedia, maka kaum muslimin siap menjadi pelindung dan penduduk wajib membayar pajak perlindungan (jizyah). Bila tidak bersedia, biarkan kaum muslimin berdakwah di negeri itu tanpa diganggu. Kalau itu ditolak, baru laksanakan penyerbuan. Dengarkanlah keputusanku: Kalian semua harus keluar dari negeri ini. Aku beri kesempatan 24 jam!”
Ketua dukun dan penduduk Samarkand terbelalak tak percaya. Qadhi kurus dan pucat itu ternyata sungguh berwibawa. Panglima Qutaibah yang gagah ternyata tunduk pada keputusan qadhi. Pengadilan Islam sungguh mulia. Mereka termangu bingung tak menyangka. Qadhi, panglima, dan prajurit muslim sudah bubar dari ruang sidang, hanya tersisa para dukun, dan penduduk Samarkand.
Kemudian kota menjadi berisik dengan suara genderang yang ditabuh dan suara terompet yang ditiup. Panglima sudah memberikan aba-aba untuk segera meninggalkan negeri itu dan kembali masuk dengan cara yang lazim. Sang pemuda utusan, penduduk, dan para dukun tengah berunding serius tentang apa yang harus mereka lakukan. Mereka sungguh terkejut, ternyata prajurit muslim yang perkasa dan gagah berani dengan mudah pergi menuruti keputusan si qadhi kurus. Sungguh mustahil.
Ketika si pemuda menceritakan pengalamannya ke negeri muslim yang subur dan saat bertemu amirul mukminin yang bijaksana, ketua dukun semakin mantap mengusulkan agar mereka semua masuk Islam. Apalagi ketika si pemuda utusan menyatakan bahwa dia telah memeluk Islam sejak berada di negeri muslim. Maka ber- gemurulah suara sepakat dari penduduk Samarkand untuk memeluk Islam. Suara takbir dan tahmid pun bergema. Namun terlambat, pasukan muslim sudah bergerak pergi.
Selama tiga hari mereka menunggu kedatangan prajurit muslim. Penduduk Samarkand menyiapkan hidangan untuk
menyambut kedatangan saudaranya seiman. Pasukan muslim datang ke Samarkand. Setelah tiga tawaran diajukan dan tak ada jawaban, pasukan muslim maju menyerbu Samarkand. Mereka tidak mendapati pasukan dan penduduk Samarkand yang siap bertempur. Namun sebaliknya, pasukan muslim mendapati penduduk Samarkand menyambut mereka dengan suara takbir dan tahmid serta hidangan-hidangan lezat untuk mereka. Prajurit Islam serentak melompat dari kuda-kuda mereka dan memeluk penduduk Samarkand-saudara mereka seiman. Hari itu kota Samarkand terguncang oleh suara takbir, tahmid, dan tahlil. Kabut gelap sirna, keangkeran terbang, cahaya masa depan yang cerah menanti mereka.
Kekuasaan hanya mampu menguasai tanah, keadilan mampu menundukkan hati.
'UATU ketika, Umar Ibnul Khaththab r.a-yang saat itu menjadi amirul mukminin membeli seekor kuda. Umar membawa kuda itu jauh dari penjual lalu menungganginya untuk mencobanya. Namun naas, kuda itu mengalami cedera. Hati kecilnya mengatakan bahwa ia harus mengembalikan kuda itu karena ia menyangka bahwa penjual kuda itu telah menipunya. Namun, si penjual kuda menolak menerima kembali kuda itu dari amirul mukminin. Lalu, apakah Umar menyuruh agar orang ini ditangkap? Atau ia mengajukan tuduhan palsu kepada orang ini? Tidak sama sekali!
Umar malah menerima gugatan atas orang itu. Si penggugat bersikeras bahwa dialah yang harus memilih hakim untuk menangani perkara mereka. Dan benar, orang itu memilih Syuraih, hakim yang dikenal keadilannya. Umar pun harus duduk dikursi pesakitan sebagai tertuduh. Hakim mengeluarkan ke- putusannya bahwa Umar bersalah.
Hakim berkata, "Bayarlah kuda yang engkau beli atau kembalikan kuda itu dalam keadaan seperti semula (tanpa cedera).”
Umar menanggapi putusan itu dengan perasaan gembira. Ia menatap Syuraih seraya berseru,
"Demikianlah seharusnya pengadilan itu."
Umar tidak memerintahkan untuk memenjarakan hakim, tidak pula menuduhnya bekerja sama dengan penjual kuda itu atau menuduhnya membahayakan keamanan negara. Bahkan Umar mengangkatnya menjadi hakim di wilayah Kuffah sebagai penghargaan atas perbuatannya.
Ketika hakim berani menegakkan keadilan di hadapan penguasa, maka negara akan aman dan rakyat terlindungi.
✓ABI Muhammad saw. bercerita, ada dua orang wanita keluar membawa bayi mereka. Tiba-tiba seekor serigala menyerang dan memangsa salah satu dari kedua bayi itu. Kedua wanita itu memperebutkan si bayi yang masih hidup. Masing-masing mengaku bahwa bayi itt.i adalah anaknya. Lalu mereka memperkarakan anak itu kepada Nabi Dawud a.s.
Beliau berkata, ”Apa yang menjadi perselisihan di antara kalian?” Kedua wanita tersebut menceritakan kisah yang mereka alami. Lalu Dawud memutuskan bahwa si anak milik wanita yang lebih tua.
Merasa tidak puas, mereka membawa perkara itu kepada Nabi Sulaiman a.s. Beliau berkata, "Berikanlah kepadaku sebilah pisau, aku akan membelah anak ini menjadi dua dan masing-masing dari kedua wanita ini mendapat sepanah bagian.
Wanita yang lebih muda terkejut dan berkata, "Apakah paduka hendak membelahnya menjadi dua, wahai Nabi Allah?” Sulaiman menjawab, ”Ya.” Wanita itu pun memohon, ’’Jangan kau lakukan hal itu, wahai paduka. Biarkanlah bagianku kurelakan untuk saudara tuaku ini.”
Maka Sulaiman memutuskan bahwa anak itu adalah hak si wanita yang lebih muda. Beliau berkata, ’’Ambillah anak ini karena dia adalah anakmu. ”
Cinta adalah bukti dan tali batin ibu atas anaknya.
AAT Amr Ibnul Ash menjabat Gubernur Mesir, ia mempunyai putra yang gemar pacuan kuda. Suatu ketika, putranya mengikuti pacuan kuda melawan seorang joki dari Mesir. Mereka mencapai garis finis secara bersamaan, sehingga tidak diketahui dengan pasti siapa yang memenangkan pacuan kuda itu.
bisa mengalahkan putra pejabat?” Orang Mesir itu tidak terima dan mengadukan pemukulan itu pada Amirul Mukminin Umar Ibnul Khaththab r.a. Maka Umar pun memanggil gubernur Mesir Amr Ibnul Ash dan putranya. Ia juga memanggil orang Mesir yang me-
Ia juga menyuruh orang Mesir itu untuk memukul gubernur karena anaknya tidak berani memukul orang, kecuali karena jabatan yang ia pegang. Lalu Umar membentak Amr Ibnul Ash, "Sejak
kapan kalian memperbudak manusia, padahal ibu mereka melahirkan mereka dalam keadaaan
merdeka?”
Keadilan adalah hak makhluk yang merdeka.
C_V t/RMANUSA adalah putri pejabat tinggi bangsa Qibti Mesir yang tunduk pada kekuasaan Romawi. Ia diasuh oleh Maria, seorang Mesir keturunan Yunani yang cantik jelita. Maria adalah seorang Nasrani taat dan cerdas. Kecantikannya adalah paduan keindahan Yunani dan Mesir. Sedang kecerdasannya menurun dari para filosof Yunani.
Suatu masa terjadi peperangan antara tentara Romawi (sebanyak seratus ribu personil dengan persenjataan lengkap) melawan prajurit muslim (sebanyak dua belas ribu orang) di daerah Balbis. Berita itu tersebar sampai ke Mesir. Tentara Romawi menakuti-nakuti rakyat Mesir dengan menceritakan perangai prajurit muslim yang beringas, memperbudak wanita, biadab, penjagal dan lain sebagainya. Penduduk Mesir pun kalut dan tercekam. Di tengah
suasana seperti itu Maria bersyair: Telah datang padamu hai domba- domba yang kasihan, empat ribu penjagal yang siap bertugas,
akan kau rasakan sakit di pori-pori dan setiap ujung rambutmu, rasa sakit penyembelihan sebelum kau disembelih.
Wahai si dara yang kasihan! Telah datang padamu empat ribu penculik,
kau akan merasakan empat ribu ke- matian sebelum kau mati yang sebenarnya.
Ya...Tuhan!
Kuatkan hati ini untuk menancapkan pisau di dada ini, untuk menghindarkan diri dari penjagal-penjagal itu.
Ya..Tuhan!
Kuatkan hati dara ini....
untuk mengawini kemntian sebelum dikawini oleh pasukan Arab itu....
Armanusa tertawa mendengar syair Maria. "Maria kau telah melebih-lebihkan khayalanmu. Bukankah ayahku telah mengirimkan
Putri Ansina untuk menyelidiki agama dan nabi mereka? Kau tahu apa yang dikatakan Ansina? Dia berkata, ’’Kaum muslimin adalah kaum yang tumbuh dengan akal dan pemikiran baru. Mereka akan meletakkan perbandingan kebenaran dengan kebatilan di dunia ini. Nabinya lebih bersih dan suci daripada langit. Mereka bangkit dari dorongan agama dan kebajikan, bukan dari hawa nafsu. Mereka menghunus senjata dan memasukannya kembali dengan aturan."
"Kau tahu Maria?” katanya. 'Ayahku sendiri pernah berkata bahwa mereka itu tidak memerangi umat ataupun kerajaan- kerajaan lain. Yang mereka perangi hanyalah kezaliman, kerusakan, dan kekafiran. Meraka keluar dari gurun sahara dengan ketinggian iman, seperti gelombang yang tinggi. Tidak ada yang lain, kecuali jiwa yang ingin keluar dari jasmani untuk menghadap tuhannya. Motivasi yang luar biasa. Mereka melangkah di dunia dengan pandangan dan peradaban yang kuat lahir batin. Di balik senjata mereka adalah moral. Dan moral itulah yang me- nafasi setiap gerak senjata mereka, ” sambung Armanusa.
’’Menurut ayah, agama baru ini akan tersebar di muka bumi, seperti warna kehidupan yang tumbuh di pohon-pohon kering. Itu akan terus berlangsung sampai semua dataran di dunia ini menjadi hijau, dapat menjadi pengayom yang bermanfaat. Keluhuran agama mereka akan selalu mewarnai setiap amalan lahiriyahnya. Menjadi lapisan, seperti pohon hijau melapisi bumi yang gersang lagi tandus,” lanjutnya.
Maria mendengar perkataan Armanusa dengan saksama. Hatinya menjadi agak tenang.
’’Tidak ada yang perlu dikahawatirkan, ” lanjut Armanusa. "Biarlah mereka memasuki dan menguasai kota ini. Jangan khawatir Maria! Apa yang terjadi akan memuaskan kita semua. Kaum muslimin tidak seperti kaum Romawi yang kejam, ganas, dan liar. Tidak peduli, mana yang haram dan mana yang halal. Kaum muslimin bergerak berdasarkan halal dan haram, penuh maslahat dan tidak rakus.”
Maria tercengang mendengar tuturan Armanusa. "Mengherankan sekali,” katanya. ’’Sokrates, Aristoteles, dan juga Plato serta para filsuf lainnya tidak mampu mengubah manusia. Mereka hanya dapat mewariskan pemikiran dan buku-buku. Mereka tidak pernah mampu menghasilkan sekelompok manusia sempurna, seperti yang engkau sebutkan tadi Armanusa. Sungguh mengherankan! Bagaimana sebenarnya sosok nabi mereka itu?” tanya Maria penasaran.
”Aku telah mempelajari al-Masih dengan segala amalannya. Sepanjang umurnya, beliau telah berusaha untuk mewujudkan umat semacam itu. Memang berhasil tetapi hanya dalam lingkup kecil. Hanya tertanam dalam jiwa dan hati murid-muridnya saja. Amalan yang dilakukan barulah permulaan dari sesuatu yang sulit diwujudkan,” Maria menambahkan.
’’Bukan hanya itu Maria,” sela Armanusa. ”Ada perbedaan di antara keduanya. Pertama, seperti yang engkau sebutkan. Dan kedua, al-Masih datang hanya membawa satu peribadatan, yakni peribadatan hati. Sedang Nabi ini, menurut ayahku, membawa tiga peribadatan, yaitu peribadatan jasmani, hati, dan jiwa. Ibadah jasmani mencerminkan kebersihan dan ketertiban. Ibadah hati menghasilkan kesucian dan cinta pada kebaikan. Dan ibadah jiwa menumbuhkan kesucian dan kerelaan berkorban demi kemanusiaan.”
’’Menurut ayahku, ” sambung Armanusa, ’’dengan ketiga jenis peribadatan itu, mereka akan bergerak menguasai dunia. Bagi mereka, kematian adalah suatu hal yang amat menyenangkan. Perasaan di hati mereka ada-
lah perasaan tinggi dan mulia. Padahal, inilah batas terakhir dari falsafah dan hikmah yang ada.”
’’Alangkah indahnya fitrah yang penuh falsafah itu,” potong Maria. "Buku-buku sudah lelah untuk menjinakkan manusia agar meluangkan sedikit waktu untuk mengingat tuhan. Kemudian datang gereja dengan segala keindahannya. Lukisan taman-taman dan burung-burung yang indah dibuat untuk menentramkan hati manusia agar menghormati tuhan, meski hanya sesaat. Mereka seperti seperti penjual arak yang memberi minuman untuk sedikit ketenangan. Siapakah yang sanggup membawa gereja dengan kuda, unta, atau keledainya, seperti kaum muslimin? Gereja ibarat taman, sesuatu yang tidak mampu bergerak. Gereja bisa menenangkan bila berada di dalamnya. Gereja adalah bangunan yang menenangkan bila orang mau berhenti sejenak di dalamnya. Sementara kaum muslimin sujud di mana saja, seluas dunia,” kata Maria.
Maka bukan hanya ketenangan menyergap di hati Maria dan Armanusa, namun juga harapan. Harapan agar tentara muslimin segera datang ke kota mereka. Sepertinya tak sabar kedua dara ini ingin menjadi muslimahyang memiliki ketinggian iman dan akal, yang sarat dengan motivasi dan kebijaksanaan. Ingin mereka segera menyatu dalam ketinggian gelombang kaum muslimin untuk menghancurkan kebatilan dan menebarkan rahmat untuk seluruh manusia.
Telah lelah buku, lukisan, dan taman- taman untuk menjinakkan manusia agar meluangkan sedikit waktu untuk mengingat tuhan. Sampai-sampai mereka seperti penjual arak, yang memberi minuman untuk sedikit ketenangan.
¡CERITAKAN oleh Zainab al-Ghazali-salah seorang tokoh akhwat Ikhwanul Muslimin. Peristiwa nyata itu terjadi pada waktu saya dirawat di rumah sakit penjara. Di sana ada seorang tentara yang bertugas sebagai perawat. Namanya Shalah. Ia bertugas memberikan suntikan kepada orang sakit dan mengawasi sel-sel di rumah sakit itu.
Suatu hari, ketika saya sedang menuju wc, tiba-tiba tirai yang menutupi pintu sel Sayyid Quthb diterbangkan angin tepat ketika saya tiba di muka sel itu.
Kejadian itu menimbulkan persoalan besar dan ’’dosa tak berampun” bagi saya. Zainab al- Ghazali melihat Sayyib Quthb sedang duduk diselnya. Karena itu, si tentara yang bernama Shalah itu melontarkan macam- macam makian. Saat itu pun Shafwat ar-Rubi masuk rumah sakit. Sudah tentu, tentara itu ingin memperlihatkan kepada atasannya bahwa ia telah menjalankan perintah dengan baik, yakni tidak memperbolehkan tahanan melihat saudaranya setahanan meski tak disengaja.
Si Shalah persis seperti binatang buas yang kejam, tidak berperikemanusiaan, tidak punya akal, dan tidak beragama.
Al-Ustadz Sayyid Quthb berusaha menjinakkan dan memberitahunya bahwa tirai itu terangkat tanpa disengaja. Ia terus saja dilunakkan dengan kata yang lembut dan manis, hingga akhirnya binatang buas itu menjadi jinak, lalu diam.
Beberapa hari kemudian, ia datang kepada saya untuk menyampaikan rasa penyesalan seraya berkata, "Saya ingin kembali ke Islam. Apa syarat-syaratnya?” Saya bertanya kepadanya,
’’Sanggupkah kau menerima penderitaan seperti penderitaan yang dialami oleh al- Ikhwan?”
’’Sanggup, jika Islam saya sama dengan Islam mereka. Allah akan menyabarkan dan menguatkan saya. Saya ingin memahami Islam yang sebenarnya. Islam yang membuat kalian tahan menderita siksaan dan penganiayaan dengan kesabaran yang luar biasa!” katanya.
’’Ucapkan Lna Illaaha Illallah, Muhammadur Rasullulahl” pinta saya. Lalu ia pun mengucapkan kalimat itu di hadapan saya. ”Nah, mulai sekarang, janganlah kau melakukan sesuatu, kecuali apa yang diperintahkan Allah kepadamu,” terang saya. ”Dan jangan patuh pada perintah para durjana itu, selama perintah itu bertentangan dengan perintah Allah," lanjut saya.
Saya meminta agar ia pergi menemui al- Ustadz Sayyid Quthb ketika ia menyuntik beliau, agar pengertiannya tentang Islam semakin mendalam. ’’Jangan lupa, sampaikan salam saya pada beliau! ” kata saya. Sejak itu binatang buas itu pun menjadi jinak. Dan ini adalah kehendak Allah.
Kelembutan itu selalu menjinakkan.
'ARI Abdullah bin Ka’ab katanya, ”Aku mendengar Ka’ab bin Malik bercerita tentang ketidakikutsertaannya bersama Rasulullah saw. dalam Perang Tabuk. Ka’ab menceritakan, ’Aku tak pernah absen bersama Rasulullah saw. dalam setiap perang yang beliau pimpin selain Perang Tabuk.’
"Saat aku absen dari Perang Tabuk, aku dalam kondisi yang prima dan rezeki yang lapang. Demi Allah, aku tidak pernah memiliki dua ekor unta yang kuat sebelumnya seperti yang kumiliki menjelang perang itu.
Setiap kali Rasulullah merencanakan perang, beliau selalu merahasiakan rencananya untuk mengecoh musuh-musuhnya.
Akhirnya beliau memimpin pasukan menuju Tabuk pada suatu hari yang panas oleh terik matahari.
Beliau bersiap-siap untuk melakukan perjalanan jauh dan menghadapi musuh dalam jumlah besar.
Kemudian setelah mereka semua siap, Rasulullah memberi tahu mereka tujuan yang hendak di serbu.’”
Ka’ab melanjutkan ceritanya.
Karena jumlah pasukan yang sangat besar, orang yang ingin absen mungkin akan mengira bahwa ketidakikutsertaannya tidak akan diketahui oleh siapa pun, selama tidak ada wahyu dari Allah swt. yang mengungkap ketjdakikut- sertaan mereka. Kemudian Rasulullah melakukan pertempuran saat masa panen tiba dan aku sendiri
lebih cenderung menikmatinya. Rasulullah saw. bersama orang-orang muslim mempersiapkan segala hal yang diperlukan dan aku pun bergegas pulang untuk bersiap-siap. Namun, aku tidak mampu menyelesaikan persiapanku. Aku berkata kepada diriku sendiri, ’Bila aku mau, aku pasti bisa menyelesaikan perbekalanku.’ Perasaan itu terus menghantui hatiku sampai semua pasukan telah siap dan Rasulullah pun akhirnya berangkat bersama kaum muslimin.
Sedangkan diriku belum menyelesaikan perbekalanku.
Di saat aku dihantui perasaan bersalah, pasukan muslim telah maju ke medan pertempuran. Timbul keinginan untuk menyusul mereka, namun keinginan tinggal keinginan. Andai saja aku melakukannya dan aku hanya bisa menyesal karena tidak menyusul mereka. Mungkin itu semua sudah menjadi ketentuan Allah atas diriku.
Kemudian aku bergegas pergi untuk melihat siapa saja yang tidak ikut bertempur bersama Rasulullah saw. Satu hal yang membuatku sedih adalah aku tidak melihat orang yang absen, kecuali laki-laki yang dituduh munafik dan orang-orang yang dibebaskan dari kewajiban berperang karena termasuk golongan lemah yang mendapat keringanan dari Allah swt. Rasulullah saw. tidak mengetahui kalau diriku tidak ikut serta sampai beliau tiba di Tabuk. Di sana beliau bertanya di tengah pasukan muslim, "Apa saja yang telah dilakukan oleh Ka’ab bin Malik?" Seorang dari bani Salmah menyahut, "Wahai Rasulullah, ia tertahan (tidak ikut) karena sibuk dengan ladang pertaniannya dan menikmati hasil panennya.”
Mendengar ucapannya, Mu'adz bin Jabal menegur, "Alangkah buruknya ucapanmu! Demi Allah, wahai Rasulullah, aku tak pernah mendengar tentangnya, kecuali kebaikannya.” Rasulullah pun terdiam dan di tengah keheningan itu beliau melihat bayangan seseorang berpakaian putih berkelebat bak fatamorgana. Nabi berkata, "Semoga yang datang Abu Khaytsamah!” Dan memang benar, dia yang datang. Dia telah menyumbang satu sha’ kurma saat orang-orang munafik menghinanya dengan perkataan mereka, "Allah swt. tidak membutuhkan satu sha’ kurma milikmu ini."
Ketika mendengar Rasulullah saw. kembali dari Tabuk, aku bertambah sedih.
Aku berusaha mencari alasan dan bergumam dalam hati, "Dengan alasan apa agar aku terlepas dari murka Rasulullah esok hari?" Kemudiam aku minta nasihat pada orang pintar dari keluargaku. Tetapi ketika dikabarkan bahwa Rasulullah saw. masih dalam perjalanan pulang, sirnalah semua niat burukku. Akhirnya aku pun sadar bahwa aku tidak mungkin bisa menghindar dari Rasulullah dengan kebohonganku. Maka kubulatkan hatiku untuk untuk berterus-terang kapada beliau.
Keesokan harinya, Rasulullah saw. sampai di Madinah. Seperti biasanya, jika beliau tiba dari perjalanan, beliau langsung menuju masjid dan melaksanakan shalat dua rakaat, lalu duduk bersama kaum muslimin. Pada saat beliau sedang duduk bersama mereka, orang-orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk datang meminta maaf pada beliau dan bersumpah tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Mereka berjumlah sekitar sembilan puluh orang. Rasulullah menerima pengakuan mereka, membai’at, dan memberi dispensasi kepada mereka. Beliau menyerahkan semua kemunafikan yang bercokol dalam hati mereka kepada Allah swt.. Hingga akhirnya tiba giliranku untuk menghadap.
Tatkala aku ucapkan salam, Rasulullah tersenyum sambil menyisipkan kemarahan dalam senyumannya. Kemudian beliau memanggilku, "Kemarilah." Aku pun lantas mendekat dan duduk di hadapannya. Beliau menanyaiku, "Apa yang membuatmu tidak hadir? Bukankah kamu sudah membeli unta?” Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, demi Allah, jika aku duduk di hadapan orang selain engkau, niscaya aku mampu menyelamatkan diri dari kemarahannya dengan kepandaianku membuat-buat alasan karena aku memiliki keahlian berdiplomasi. Tapi jika aku berbohong padamu dan engkau percaya
karena manisnya lidahku, maka Allah pasti menyingkap kebohonganku. Jika aku berkata jujur, engkau akan memaklumi bahwa aku harus menyerahkan hukumannya kepada Allah swt.. Demi Allah, aku tidak punya alasan apa pun. Bahkan, aku tidak pernah merasa sekuat dan selapang, seperti saat aku meninggalkan peperangan ini.” Rasulullah berkata, "Orang ini telah berkata jujur. Bangkitlah dan serahkan hukuman atas dirimu kepada Allah swt..”
Saat aku beranjak dari hadapannya, beberapa orang dari bani Salmah membutuhku sambil mengolok-olok, "Demi Allah, kami tak pernah melihatmu berbuat salah sebelumnya. Kamu pun bahkan tidak mampu untuk menjelaskan ketidakikutsertaanmu, seperti dilakukan oleh orang yang lain. Cukuplah istigfar Rasulullah untuk menghapus dosa-dosamu.”
Mereka terus mencemooh diriku. Mereka mempengaruhiku, sampai-sampai aku tak tahan ingin kembali ke Rasulullah dan berbohong padanya. Kemudian aku bertanya pada mereka, ’’Apakah ada orang lain yang bernasib seperti diriku (dicemooh karena tidak punya alasan)?” Mereka menjawab, ”Ya, ada dua orang yang bernasib sama seperti dirimu dan mereka mendapatkan perlakuan yang sama dengan dirimu. ” Kutanya mereka, "Siapakah mereka?" Mereka menjawab, ’’Mararah ibnur-Rabi’ al-’Umari dan Hilal bin Umayyah al-Waqify.” Mereka menyebutkan dua orang saleh yang turut bertempur dalam Perang Badar dan menjadi panutan orang.
Kemudian aku pergi meninggalkan mereka setelah mereka menyebutkan keduanya. Rasulullah pun melarang orang- orang berbicara dengan kami, orang-orang yang tak hadir dalam pertempuran. Orang- orang pun mulai mengucilkan kami dari pergaulan. Mereka berubah sikap terhadap kami. Aku merasakan seolah-olah kedua kakiku
tidak berpinjak di bumi yang kukenal.
Keadaan ini berlangsung selama lima puluh malam. Kedua orang sahabatku (yang bernasib sama denganku) hidup menyendiri di rumah masing-masing dan tak henti-hentinya menangis. Sedangkan aku, yang paling muda dan kuat mental di antara kami bertiga, tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Aku tetap menjalankan rutinitas shalat bersama kaum muslimin dan berjalan-jalan di pasar sekalipun tidak ada yang menyapaku. Aku juga mendatangi Rasulullah saw. di majelisnya seusai shalat.
Aku bertanya-tanya dalam hati, "Sudikah Rasulullah menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamku?” Kemudian aku shalat di dekat beliau sembari mencuri pandang ke arahnya. Saat aku sedang melaksanakan shalat, kulihat Rasulullah menatapku. Dan bila aku menatapnya, Rasulullah segara mengalihkan pandangan.
Setelah lama aku merasakan boikot kaum muslimin, aku berjalan mengendap-endap dan melompati pagar rumah Abu Oatadah. Ia adalah saudara sepupuku dan orang yang paling kucintai. Aku ucapkan salam padanya dan sungguh, demi Allah, ia pun tak sudi menjawab.
Aku berkata memelas,"Wahai Abu Oatadah, atas nama Allah aku bertanya kepadamu. Tahukah kamu sesuatu yang paling disukai Allah dan Rasulullah-Nya.” Ia tetap diam, aku memohon sekali lagi dan ia masih membisu. Untuk ketiga kalinya kuulangi lagi pertanyaanku, akhirnya iapun menjawab, "Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih tahu.”
Mendengar jawabannya, mataku berkaca-kaca basah, kemudian aku pergi dari rumahnya dan memanjat tembok pagar rumah itu. Saat aku menyusuri jalanan pasar, kulihat seorang petani dari negeri Syam yang membawa makanan untuk dijual ke kota. Ia bertanya, "Siapa yang bisa menunjukkanku
pada Ka’ab bin Malik?” Orang-orang di sekitarku serentak menunjuk ke arahku. Si petani pun lalu menghampiriku dan memberikan sepucuk surat dari Raja Ghassan. Aku membacanya dan dalam surat itu tertulis: "Amma ba'du, aku mendengar bahwa sahabatmu telah mengucilkanmu. Padahal Allah tidak menjadikanmu bahan cemoohan dan kehinaan. Maka ikutlah bersama kami dan kami akan membantumu." Selesai membaca surat itu, aku berkata pada diri sendiri, "Ini juga merupakan salah satu ujian bagiku.” Lalu kubawa surat itu ke perapian dan membakarnya.
Setelah berlalu empat puluh hari dari lima puluh hari yang di tetapkan dan wahyu pun lama tak kunjung datang, Rasulullah saw. mengutus seseorang mendatangiku dan berkata, "Rasulullah memintamu menjauhi istrimu." Aku bertanya padanya, ’’Kutalak dia atau apa yang harus kulakukan?” Utusan itu menjawab, ’’Bukan, tapi jauhi dia dan jangan menggaulinya.”
Demikianlah, Rasulullah pun melakukan hal yang sama pada kedua sahabatku. Aku pun berkata kepada istriku, "Pergilah dan kembalilah ke keluargamu, sampai Allah menyelesaikan segala permasalahan ini.” Istri Hilal bin Umayyah kemudian mendatangi Rasulullah saw, ’’Wahai Rasulullah, Hilal bin Umayyah adalah lelaki tua dan ia tak mempunyai pembantu, apakah engkau melarang jika aku melayaninya?” Rasulullah menjawab, ’’Tidak, tapi ia tidak boleh menggauli- mu.” Ia pun lanjut bertanya, "Demi Allah, sampai saat ini ia tak nampak menginginkan sesuatu pun. Ia masih saja menangis sejak hari itu sampai sekarang."
Sebagian keluargaku menyarankan agar aku meminta izin seperti yang dilakukan istri Hilal untuk melayani suaminya. Aku jawab saran mereka, ”Aku takkan meminta izin Rasulullah. Apa yang akan dikatakan Rasulullah jika aku minta izin, padahal masih kuat dan muda?”
Keadaan itu kulewati selama sepuluh malam dan lengkaplah lima puluh malam semenjak adanya larangan berbicara dengan kami. Di pagi hari yang kelima puluh itu, aku shalat subuh di salah satu ruangan kami. Ketika aku bersimpuh merenungkan keadaan diriku yang di rundung kegelisahan dan bumi seakan-akan menghimpit dadaku, aku mendengar suara memanggilku dari arah Bukit Sil. Orang itu terdengar lantang memanggil, ’Hai Ka’ab bin Malik, berbahagialah!” Seketika itu aku bersujud karena mengetahui bahwa akan segera datang pertolongan Allah.
Rasulullah saw. mengumumkan kepada kaum muslimin tentang ampunan Allah swt. pada kami seusai shalat subuh. Mereka lalu berbondong-bondong mendatangiku dan mengucapkan selamat padaku. Mereka juga mendatangi sahabatku yang punya kasus sama denganku. Seseorang memacu kudanya ketempatku dan seseorang dari suku Aslam berlari menuju puncak bukit untuk menyerukan berita gembira itu kepadaku. Namun, berita via suara orang itu lebih cepat daripada berita si penunggang kuda.
Ketika orang yang memanggilku mendekat, aku lepas semua yang kupakai dan ku- hadiahkan padanya karena telah membawa kabar gembira untukku. Demi Allah, aku tak punya pakaian selain yang kupakai itu. Hari itu aku meminjam sepasang baju dan memakainya. Setelah itu langsung bergegas menuju tempat Rasulullah saw.. Sementara itu kaum muslimin masih saja mendatangiku dan memberi selamat atas ampunan yang Allah swt. anugerahkan. Mereka berujar, "Selamat atas anugerah ampunan dari Allah untukmu. ”
Tatkala aku menginjakkan kaki di masjid, Rasulullah saw. kulihat sedang duduk dikelilingi oleh orang-orang. Thalhah bin Ubaid yang melihat kedatanganku seketika itu berdiri, menyalami dan mengucapkan selamat.
Demi Allah, tak pernah kulihat seorang pun dari kaum muhajirin berdiri menyambut yang lain. Tatkala aku mengucapkan salam kepada Rasulullah saw. aku melihat wajahnya berseri-seri memancarkan kegembiraan. ’’Berbahagialah pada hari yang indah dalam kehidupanmu.”
Aku bertanya penasaran, ’’Apakah semua ini darimu, wahai Rasulullah ataukah dari Allah swt.?” Rasulullah menjawab, ’’Tidak, semua ini dari Allah swt..” Dan Rasulullah jika sedang berbahagia, beliau biasa menundukkan wajahnya sehingga terlihat laksana rembulan. Dan kami sering melihat hal itu pada diri beliau.
Saat aku beringsut ke hadapannya, aku bertanya, ’’Wahai Rasulullah, wajibkan bagiku mengeluarkan sedekah untuk Allah dan Rasul-Nya untuk menyempurnakan tobatku ini?” Rasulullah menjawab, "Simpanlah sebagian hartamu sebab itu akan lebih berguna bagimu.”
Dengan memelas aku berkata, "Wahai Rasulullah, aku masih memilik ladang di wilayah Khaibar.” Dan aku menambahkan, "Sesungguhnya Allah swt. menyelamatkanku karena aku berkata jujur. Dan sebagai perwujudan tobatku, aku akan senantiasa berkata jujur selama sisa umur hidupku.”
Demi Allah aku tak pernah mendengar seorang pun mendapat anugerah yang lebih baik dari anugerah yang Allah berikan kepadaku semenjak aku menepati janjiku (untuk senantiasa berkata jujur) di hadapan Rasulullah. Dan sungguh sejak itu sampai sekarang, tak ada lagi niatan dalam hatiku untuk berbohong. Aku berharap Allah swt. menjaga kejujuranku ini sampai akhir hayatku.
Allah swt. berfirman, "Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang orang Muhajirin, dan Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu sangat luas dan jiwa mereka pun telah sempit (terasa) oleh mereka, agar mereka tetap dalam tobatnya, sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penyayang. Hai orang orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, hendaklah kamu bersama orang orang benar." (at-Taubah: 117-119)
Ka'ab berkata, ’’Demi Allah, semenjak aku masuk Islam, Allah tidak menganugerahi satu nikmat pun yang lebih besar dari nikmat jujur di hadapan Rasul-Nya, sehingga aku tidak terjerumus seperti orang-orang yang berbohong di hadapan Rasulullah.”
Ka’ab berkata, ’’Kami adalah tiga orang yang memilih sikap berbeda dari orang orang yang bersumpah di hadapan Rasulullah dan dibaiat serta dimohonkan ampunan olehnya. Hal itu karena kami lebih memilih sikap jujur meskipun Rasulullah mengasingkan kami sampai akhirnya Allah memberikan ampunan kepada kami.”
Hukuman adalah penguat bagi jiwa yang lemah, agar jiwa itu tegak menyongsong hari. Bagi pendusta dan kaum munafik tak perlu hukuman itu, karena jiwa mereka sudah layu, tak mungkin tegak lagi.
AHULU, ada seorang raja yang sedang duduk santai di pelataran istana. Saat dia
sedang melihat-lihat pemandangan, matanya tertuju pada seorang wanita yang cantik jelita di atas balkon di sebuah rumah. Raja bertanya kepada dayang-dayang tentang wanita itu. Dayang- dayang mengatakan bahwa wanita itu adalah istri pembantunya, Fairuz.
Kemudian raja turun. Dalam hatinya telah tumbuh cinta yang menggelora. Lalu ia memanggil pembantunya dan berkata, "Wahai Fairuz.” "Hamba Paduka,” jawab Fairuz. "Ambilah surat ini dan bawalah ke negeri antah berantah, kemudian bawalah jawabannya
padaku,” titah sang raja.
Si pembantu mengambil surat itu lalu pulang ke rumahnya dan meletakkan surat itu di bawah bantal. Kemudian ia menyiapkan segala keperluan untuk perjalanannya. Keesokan harinya, ia pamit kepada keluarganya dan memulai perjalanan untuk menunaikan tugas. Dia sama sekali tidak mengetahui rencana busuk sang raja di balik ke-
Sementara itu, raja pergi ke rumah pembantunya. Dan mengetuk pintu pelan-pelan. Istri pembantu raja bertanya, "Siapa yang mengetuk pintu?” Sang raja menjawab, "Aku raja dan tuan suamimu.” Si istri membukakan pintu dan masuklah raja. Wanita itu bertanya, ”Ada apa-
kah gerangan paduka mengunjungi rumah kami? Hamba berlindung kepada Allah dari kunjungan ini dan hamba tidak mengira ini kunjungan yang baik.”
Rajaberkata, "Celakalah kamu, aku adalah raja dan tuanmu. Apa-
kah kamu tidak mengetahui hal ini?” Si wanita menjawab, "Bahkan hamba sangat mengenal paduka. Tetapi paduka telah didahului oleh leluhur dalam pepatah mereka:
Akan kutinggalkan air milikku tanpa bunga, karena banyak orang yang mendambakannya. Bila seekor lalat di atas hidangan, kuurungkan tanganku, sekali pun seleraku menginginkannya. Singa-singa pun tak mau mendekat ke telaga, bila anjing-anjing telah menjilat telaga itu."
Kemudian wanita itu berkata, "Wahai raja, paduka telah datang ke tempat minum anjing dan paduka ingin minum air bekasnya?” Raja sangat malu mendengar ucapan itu, lalu keluar meninggalkan wanita tersebut. Namun, ia lupa membawa sepatunya dan malah meninggalkannya di rumah itu.
Sementara itu, Fairuz di tengah jalan. Ia memeriksa surat sang raja, tetapi tidak mendapatkannya. Ia teringat bahwa surat itu ditaruhnya di bawah bantal. Kemudian diputuskannya untuk kembali ke rumah. Saat sampai di rumah, raja baru keluar dari rumahnya dan ia melihat sepatu sang raja yang tertinggal. Dalam hati, ia sangat marah. Ia menyadari bahwa sang raja tidak mengutusnya pergi kecuali karena ada maksud tertentu di balik perintahnya. Ia terdiam dan tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada istrinya. Lalu, ia mengambil surat dan pergi menunaikan tugas dari raja.
Setelah selesai menunaikan tugas, ia kembali dan menghadap raja. Raja memberinya uang seratus dinar. Setelah itu, ia pergi ke pasar membeli kebutuhan wanita dan mempersiapkan hadiah mahal untuk istrinya. Ia pulang ke rumah memberi salam kepada istrinya dan berkata, "Bangkitlah dan pergilah ke rumah ayahmu!" Istrinya bertanya heran, "Mengapa?” Si suami menjawab, "Raja memberiku hadiah dan aku ingin memperlihatkannya kepada keluargamu. ” Si istri pun bangkit dan pergi ke rumah ayahnya. Keluarganya gembira karena kedatangan dan hadiah yang dibawanya. Ia tinggal di rumah ayahnya selama sebulan penuh. Selama itu suaminya tidak pernah menanyakan dan menjemputnya.
Melihat hal itu, saudara lelaki istrinya datang menemuinya dan bertanya, "Katakanlah kepada kami penyebab kemarahan kamu atau kalau tidak kita akan ajukan perkara ini kepada raja.” Fairuz menjawab, "Jika kalian ingin mengajukannya kepada raja, maka lakukanlah, aku tidak mempunyai hak apa-apa lagi terhadap istriku." Maka mereka pun mengajukan permasalahan ini kepada raja. Sang raja menyerahkan perkara ini kepada hakim kerajaan yang saat itu duduk di sebelahnya.
Saudara laki-laki si istri berkata, "Tuan Hakim Ketua, aku telah mempekerjakan orang ini di kebun milikku yang berpagar kuat, mempunyai mata air sumur yang jernih, dan ditumbuhi pepohonan yang berbuah lebat. Namun kemudian, ia memakan buah- buahnya, merusak tembok pagarnya dan merusak sumber airnya. ”
Sang hakim menoleh kepada pembantu raja, "Apa yang ingin kau katakan wahai Fairuz?” Fairuz menjawab, "Wahai Tuan Hakim, sungguh aku telah menerima kebun itu dan telah aku serahkan kembali dengan kondisi yang lebih baik daripada sebelumnya.”
Sang hakim bertanya, "Apakah ia menyerahkan kebun itu seperti semula?" Saudara laki-laki itu menjawab, "Benar, aku ingin mengetahui penyebab mengapa ia mengembalikannya?” Sang hakim bertanya, "Apa yang ingin kau katakan, wahai Fairuz?” Ia menjawab, "Demi Allah wahai Tuanku, aku tidak mengembalikannya lantaran benci kepadanya. Suatu hari, aku datang ke kebun dan melihat bekas jejak harimau (sepatu sang raja). Aku takut kalau harimau itu membunuhku. Aku menahan diriku untuk masuk ke kebun itu sebagai penghormatanku kepada harimau itu.”
Sang raja yang sebelumnya duduk bersandar, mendadak duduk tegang dan berkata, ’’Wahai Fairuz, kembalilah ke kebunmu dengan aman dan tenang. Demi Allah, harimau itu memang telah masuk ke kebun itu dan telah meninggalkan jejak. Namun, ia tidak menyentuh sehelai daun atau mengambil satu butir buah pun darinya. Harimau itu hanya masuk sebentar dan keluar tanpa merusak apa pun yang ada di dalamnya. Demi Allah, harimau itu belum pernah melihat kebun yang sangat menjaga pagar dan pepohonannya.” Maka, pembantu raja itu pun pulang dan membawa istrinya kembali ke rumah. Sang hakim maupun hadirin yang mengikuti sidang itu, tidak satu pun yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Bila lalat ada di atas hidangan, urung tangan menjamahnya. Singa pun tak mau mendekat ke telaga bila anjing telah menjilatnya terlebih dahulu.
-ADA suatu hari, di tengah terik matahari, seorang pemuda beijalan di sepanjang sungai. Tak ada makanan yang disentuhnya hari itu. Ia sangat lapar. Badannya lemas. Jalannya terseok-seok. Saking laparnya, matanya berkunang.-kupang. Segera ia minum air di sungai. Sedikit kesegaran terasa. ' ' ! ; ' <
Tiba-tiba, bersama aliran air, muncul buah apel merah mengambang. Buah itu terlihat nikmat. Tanpa sadar segera ditangkapnya, dibersihkannya, lalu disantapnya dengan cepat. Benar-benar manis. "Apel yang nikmat,” katanya dalam hati.
Ketika laparnya hilang, sang pemuda baru sadar dengan apa yang dimakannya. "Apel ini bukan milikku.
Kenapa aku memakannya? Padahal, aku tidak tahu siapa pemiliknya,” hatinya membatin. Semakin direnungi, semakin ia merasa bersalah. Hatinya gundah dan tak tenang. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari si empunya apel dan akan memohon ridhanya atas apel yang dimakannya.
^ Sang pemuda pun berjalan menelusuri sungai ke arah hulu, asal buah apel mengalir. Akhirnya, ia menemui pohon apel berbuah lebat yang menjulur ke sungai. "Pasti dari pohon inilah apel yang kumakan tadi,” katanya dalam hati. Ia mencari pemilik pohon apel itu. Ketika bertemu, sang pemuda menceritakan apa yang dialaminya. Ia bersedia melakukan apa saja, agar sang bapak meridhai apel yang telah dimakannya.
Mendengar cerita si pemuda,
bapak pemilik pohon apel sangat kagum. Jarang ia temui anak muda seperti ini. Gagah, sopan, jujur, dan sangat saleh. Alangkah berbahagianya jika ia dapat menjodohkan sang pemuda dengan anaknya yang sudah menginjak dewasa. Maka sang bapak pun mengatur siasat.
"Wahai anak muda,” kata sang bapak. "Niatmu sungguh baik. Namun, aku sudah bersusah payah merawat pohon apel itu. Tak bisa aku memaafkanmu begitu saja, kecuali kalau engkau
bersedia menikahi putriku." lanjut pak tua. Sang pemuda tak berubah raut wajahnya dan dia bersedia.
"Apakah benar engkau bersedia anak muda? ” kata bapak tua itu meragukan. "Engkau tahu wahai anak muda. Anakku itu bisu, tuli, buta, dan kakinya lumpuh. Wajahnya pun biasa-biasa saja, tidak cantik. Bagaimana?” lanjutnya.
Si pemuda tetap pada kesediaannya. Tidak berubah. Ia siap melakukan apa pun untuk menebus kesalahannya. Bapak tua semakin kagum. Akhirnya, mereka sepakat untuk melangsungkan pernikahan itu dan bapak tua itu memanggil anak gadisnya.
Di luar dugaan si pemuda, anak gadis si bapak tua ternyata sehat-sehat saja. Tidak buta, tuli, bisu, apalagi lumpuh. Bahkan, matanya sangat indah, putih, dan wajahnya sangat cantik. Tak tahan dengan keanehan ini, maka si pemuda pun berkata, "Wahai
Bapak, Anda bilang putri Anda bisu, tuli, buta, dan kakinya lumpuh. Tapi, putri anda sehat- sehat saja. Bahkan, menurutku putri anda sangat cantik rupawan.”
Sang bapak tersenyum. "Begini anak muda," katanya pelan. "Anakku kukatakan bisu dan tuli karena ia tidak pernah mengatakan dan mendengar hal-hal yang dilarang agama. Kukatakan ia buta dan lumpuh karena ia tidak pernah melihat sesuatu dan pergi ke tempat yang dilarang agama. Itu maksudku,” kata pak tua sambil terus ter senyum.
Dengan gembira pemuda itu menikahi putri si bapak tua. Ia tidak hanya lepas dari dosa memakan apel haram, tetapi juga mendapatkan jodoh seorang gadis saleh yang cantik rupawan. Dari pasangan itulah lahir seorang pemuka Islam, yakni Syekhul Islam al-Imam Syafi'i.
Kebaikan selalu menuai keberkahan.
/ETIKA Rasulullah saw. berdakwah di Mekah dan berjalan melalui lorong-lorong kota, ia selalu mendapat gangguan dari atas loteng sebuah rumah. Terkadang, ia disiram air yang bau menyengat, dijatuhi tanah kotor, dan bebatuan. Rasulullah saw. menerima ujian ini dengan sabar.
Pada suatu hari, Rasulullah saw. melewati tempat yang sama. Namun, ia merasa aneh. Ia dapat lewat dengan mudah tanpa gangguan. Ketika pulang, ia pun tidak melihat nenek tua Quraisy yang biasa mengganggunya. Keesokan harinya, Rasulullah saw. melewati tempat yang sama. Dan, seperti kemarin, ia tidak melihat nenek tua itu. Akhirnya, Rasulullah saw. memutuskan untuk menjenguk si nenek tua. Jangan- jangan terjadi sesuatu terhadap si nenek.
Maka setelah usai urusan hari itu, Rasulullah saw. pulang lewat lorong yang sama dan mengetuk rumah nenek tua.
Rasulullah saw. mengucapkan salam. Tak ada jawaban. Diulanginya lagi salam itu sampai tiga kali. Setelah salam yang ketiga barulah terdengar suara lemah dari dalam, ’’Masuklah!
Pintu tak terkunci." Rasulullah masuk. Dilihatnya nenek tua yang sering mengganggunya tertidur lemah. Wajahnya nampak pucat. Suaranya pun lemah.
Rasulullah saw. pun mendekatinya. Si nenek terkejut ketika mengetahui bahwa yang menjenguknya adalah Rasulullah saw. yang setiap hari diganggunya. Hatinya sangat terharu. Air mata menetes di pipinya. Sungguh, handai taulan dan sanak saudaranya tidak ada yang menjenguknya, meskipun hanya sejenak. Tak ada yang memberinya makan dan
minum. Saudara-saudaranya tak acuh dengan keadaannya. Tetapi, orang yang selalu diganggunya, dimarahinya, dan sering ia lempari dengan barang-barang yang menjijikkan, justru datang menjenguknya. Memberinya makan, minum, menghibur, dan mendoakannya agar segera sembuh. Air matanya mengalir deras karena penyesalan dan terharu akan kemuliaan Rasulullah saw.
Si nenek berkata, ’’Wahai Muhammad bin Abdullah, engkau tahu aku selalu mengganggumu ketika engkau lewat di depan rumahku. Engkau pun melihat keadaanku hari ini. Tak ada sanak saudara yang menjengukku, padahal kondisiku sangat lemah. Demi Tuhan Muhammad, hari ini aku ingin menjadi muslim dan mengikuti agama yang engkau bawa. Sungguh, ini adalah agama yang penuh kasih sayang. Aku selalu mengganggumu, tetapi engkaulah yang menjengukku ketika aku sakit. Sementara saudaraku, tak seorang pun terlihat batang hidungnya. Sungguh, aku akan memeluk agamamu.”
Tempalah besi ketika panas, sentuhlah hati ketika kepekaannya memancar.
7ALAM ShahihMuslim, Abu Hurairah berkata, "Bersabda Rasullah saw., 'Adaseseorang membeli ladang dari orang lain. Kemudian orang itu menemukan pundi-pundi berisi emas di ladang tersebut. Si pembeli mengembalikan pundi-pundi itu kepada si penjual. Si penjual menolak karena merasa bukan miliknya. Katanya, "ambillah." Tetapi si pembeli itu pun menolaknya dengan berkata, "Aku hanya membeli ladang, bukan membeli emas itu."' (HR Muslim)
Alkisah Abdullah bin Ahmad-sebut saja begitu-membeli sebidang tanah yang akan digunakannya untuk bercocok tanam kepada tetangganya, Salman. Setelah tawar-menawar dan akad jual-beli, dengan riang Abdullah pulang ke rumahnya.
Begitu pula Salman.
Esok harinya, Abdullah bersama anak lelakinya, dengan gembira pergi ke ladang baru mereka untuk mengolah tanah dan menanam sayur-mayur.
Mereka membajak tanah mereka dengan senang hati. Mulai dari arah yang berlawanan, mereka memacul tanah yang tidak keras itu. Menjelang tengah hari,
Abdullah terkejut dengan bunyi paculnya yang menghantam benda * keras. Segera ia memeriksa. Sungguh di luar dugaan, ternyata paculnya terbentur pundi-pundi yang berisi emas.
Kaget bukan kepalang Abdullah berteriak memanggil putranya, ”Nak... nak segera ke sini.
Cepat nak, cepat... cepat!” ”Ada apa Pak, ada apa?” putra Abdullah ter-sentak. "Kok berteriak seperti itu Pak, ada apa? Ada apa sih?” kata-nya lagi. "Coba lihat, coba lihat ini! Bukankah ini emas,
emas nak. Banyak sekali. Cepat lihat ke sini,” teriak Abdullah dengan suara agak bergetar. Putra Abdullah langsung melompat ke tempat bapaknya dan memperhatikan pundi yang berisi
benda kekuningan yang menyilaukan mata. "Wah, bukankah ini emas pak? Ini emas pak. Banyak sekali!” seru anak Abdullah gembira.
Setelah berunding, mereka menggali kembali dan mengumpulkan seluruh emas yang ada di ladang mereka. Lalu mereka pulang dengan perasaan yang bercampur aduk, antara gembira dan khawatir. Gembira karena menemukan pundi-pundi emas di ladang mereka. Khawatir karena hati kecil Abdullah mengisyaratkan bahwa emas itu bukan haknya, dan ia tidak boleh mengusainya.
Dengan perasaan mantap, Abdullah membawa seluruh pundi-pundi emas yang baru saja ditemukannya ke rumah Salman- pemilik ladang sebelumnya-untuk diserahkan. Sebagai seorang muslim, Abdullah meyakini bahwa ia tidak berhak atas harta itu karena yang ia beli hanyalah tanah ladang dari Salman, tidak termasuk emas yang sangat banyak itu. "Emas ini adalah milik Salman, bukan milikku,” Abdullah membatin.
Ketika berjumpa dengan Salman, Abdullah menceritakan seluruh yang dialaminya berkaitan dengan ladang dan emas yang ditemukan, sambil meletakkan pundi-pundi emas tersebut di meja di hadapan Salman. Melihat pundi-pundi emas itu, Salman sangat terkejut dan tidak pernah menyangka bahwa itu berasal dari ladangnya.
Setelah menenangkan diri, dengan mantap dia berujar, "Wahai Abdullah, meski benar pundi-pundi emas ini kau temukan dari ladang yang engkau beli padaku, namun emas-emas ini bukan milikku lagi. Harta ini sudah menjadi milikmu, karena aku sudah menjual ladang itu kepadamu beserta apa yang ada di dalamnya. Jadi, kalau di dalam ladang itu kau temukan harta permata sebanyak ini atau bahkan berpuluh-puluh kali lipat banyaknya dari emas yang ada di hadapanku ini, itu bukan milikku lagi, karena ladang itu sudah aku jual kepadamu. Kamulah yang berhak atas ladang itu beserta apa yang ada di dalamnya. Maka bawalah emas ini Abdullah. Gunakan sesukamu. Kau yang lebih berhak.”
Mendengar perkataan Salman, Abdulah kaget bukan kepalang. Suatu hal yang tidak disangka-sangkanya. ”Tu... tunggu dulu Tuan Salman. Memang benar aku menemukan emas ini di ladangku, tanah yang telah menjadi milik dan hakku. Namun, yang aku beli darimu hanya tanah ladang, bukan emas sebanyak ini. Tanah ladang itu memang sudah aku beli. Aku tak pernah membeli emas ini darimu. Emas ini tetap milikmu, ambillah! Aku permisi pulang,” jawab Abdullah bergegas pulang.
"Berhenti Abdullah, jangan pulang dulu! Persoalan ini belum selesai. Aku tidak bisa menerima ini,” kata Salman setengah berteriak menahan Abdullah pulang. "Sungguh aku sangat senang dan menaruh hormat serta bangga atas sikapmu Abdullah. Kejujuranmu tiada taranya. Namun, aku mohon mengertilah. Aku pun tidak ingin menerima harta yang bukan hakku. Aku pun ingin seperti engkau, menjaga diri agar tidak menyentuh sesuatu yang bukan hakku,” tambahnya.
Abdullah tersentak dan berhenti. Keduanya terdiam. Beberapa saat kemudian, barulah mereka berunding dan bersepakat untuk menyelesaikan persoalan itu dengan meminta bantuan seorang hakim yang saleh. Kepadanya mereka menceritakan seluruh permasalahan.
Sang hakim mendengarkan dengan saksama dan terharu dengan keimanan mereka. Inilah keimanan yang membuahkan kehati-hatian. Meskipun kedua orang itu tidak kaya, "hati mereka sangat kaya”. Mereka mampu menjaga dirinya untuk tidak menyentuh apa-apa yang bukan haknya.
Setelah berpikir agak lama, barulah sang hakim bertanya, ’’Apakah engkau mempunyai
anak Abdullah dan engkau juga Salman?” ”Ya, aku punya anak laki-laki,” jawab Abdullah cepat yang diikuti dengan jawaban Salman yang ternyata mempunyai anak perempuan. "Bagus... bagus kalau begitu. Aku punya ide untuk solusinya. Bagaimana kalau kalian menikahkan kedua anak kalian dan menggunakan seluruh harta itu untuk pernikahan dan hidup mereka. Kalian berdua berbesanan dan anak kalian terjamin masa depannya. Bagaimana? Itulah keputusanku,” kata hakim senang.
Mendengar keputusan tuan hakim (yang di luar dugaan), wajah Abdullah dan Salman tampak berseri-seri, sebagaimana kegembiraan yang terpancar pada wajah sang hakim. "Terima kasih Tuan Hakim... terima kasih," serentak keduanya berujar. Mereka pun berpelukan gembira dan pulang dengan rasa riang.
Hari itu Abdullah dan Salman mendapat tiga kebahagiaan sekaligus, pertama mereka mendapatkan harta berupa emas; kedua, jodoh untuk anak-anak mereka, dan ketiga, persaudaraan atas dasar iman di antara mereka.
Kebahagiaan diperoleh dari keimanan dan kejujuran, bukan dari harta, apalagi harta yang bukan haknya.
/NAS Ibn Malik r.a. mengisahkan bahwa kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah saw. beliau bersabda, "Akan berlalu saat ini seorang ahli surga.” Saat itu juga seorang sahabat dari Anshar muncul sambil mengusap jenggot menghilangkan bekas wudhu. Tangan kirinya menenteng sandal. Keesokan harinya Rasulullah saw. kembali mengatakan
hal yang sama dan muncul sahabat Anshar itu. Di hari ketiga Rasulullah berkata seperti yang beliau ucapkan sebelumnya. Dan, masih sahabat itu juga yang datang.
Ketika Rasulullah beranjak pergi, sahabat Abdullah ibnu Umar membuntuti orang itu. Ia berkata, ”Aku berselisih dengan Ayahku. Aku bersumpah takkan tinggal bersamanya selama tiga hari. Jika kau izinkan, bolehkah aku tinggal bersamamu selama itu?” Sahabat itu menjawab, "Baiklah.”
Abdullah ibnu Umar bercerita bahwa ia tinggal bersama sahabat itu selama tiga hari. Tapi ia tak melihatnya bangun tengah malam beribadah, kecuali ketika bangun ia selalu berdoa dan bertakbir hingga menjelang shalat subuh. Abdullah berkata, "Aku hanya mendengar ia selalu mengucapkan kebaikan. Selama tiga malam itu, hampir saja aku meremehkan semua hal yang ia
lakukan. Akhirnya kuputuskan untuk bertanya padanya, ’Wahai hamba Allah, sebenarnya tak pernah terjadi perselisihan antara aku dan ayahku, tapi aku mendengar Rasulullah saw. berkata sebanyak tiga kali "Saat ini akan berlalu seorang ahli surga. "Aku perhatikan ternyata kamulah orangnya. Aku lantas bermaksud tinggal bersamamu untuk mengetahui lebih dekat semua
yang kamu lakukan. Tapi sampai saat ini aku tak melihat kamu melakukan sesuatu yang besar dan berharga. Aku bertanya-tanya apa yang menyebabkan Rasulullah saw. mengatakan demikian.’” Sahabat itu menjawab, ’’Diriku hanyalah seperti yang kamu lihat. ”
Setelah mendengar jawabannya, aku beranjak pergi meninggalkannya. Selang beberapa langkah, ia kembali berkata kepadaku, ’’Diriku hanyalah seperti yang kamu lihat, tapi tak pernah terbetik dalam hatiku, perasaan dengki terhadap muslim lainnya atau iri terhadap anugerah yang Allah berikan kepada mereka.” Abdullah ibnu Umar menimpali, "Ini dia yang menyebabkan kamu menjadi ahli surga.” (Hadist Riwayat Ahmad dengan sanad menurut syarat Bukhari, Muslim, dan Nasa'i).
Hilangnya dengki balasannya adalah surga.
Dr. Sa’id an-Najjar
/BBAS as-Sisiy bercerita dalam Hikayatul 'Anil-Ikhwan[1]) bahwa Dr. Sa'id an-Najjar- semoga Allah merahmatinya-adalah hamba Allah yang saleh. Secara pribadi saya tidak mengenalnya dan belum pernah bertemu dengan beliau. Tetapi tatkala saya berkunjung ke Kuwait, saya banyak mendengar tentang kebaikannya. Hal itu membuat saya mencintainya. Salah seorang ikhwah telah menulis sebuah buku tentang beliau. Saya ingin mendapatkan
buku itu. Di sini saya menuliskan salah satu dari kisahnya.
Salah seorang pencopet asal Mesir telah tertangkap dan diputuskan untuk dipulangkan ke Mesir, lalu kerajaan Kuwait meminta dia untuk membayar denda sebesar 20 dinar. Karena tak mempunyai uang sepe- serpun, maka ia menulis surat kepada Dr. Sa’id untuk memohon agar beliau membayarkan denda itu. Beliau mendapatkan uang didompetnya hanya 10 dinar. Karena itu, beliau meminjam uang kepada salah seorang sahabatnya, lalu membayarkan denda itu. Pencopet itu pun dibebaskan untuk pulang ke Kairo.
Tak lama kemudian, Dr. Sa’id menerima wesel dari mantan pencopet itu sebanyak 20 dinar. Mantan pencopet itu bercerita kepada Dr. Sa’id an- Najjar bahwa uang yang di- weselkan merupakan uang
yang beliau bayarkan kepada polisi sebagai denda. Uang yang dicopetnya kembali tanpa disadari oleh sang polisi.
Mengetahui hal itu, Dr. Sa’id an-Najjar segera ke kantor polisi untuk mengembalikan uang tersebut kepada polisi yang tidak sadar uangnya dicopet kembali. Maka praktis mantan pencopet itu belum mengembalikan uang kepada Dr. Sa’id an-Najjar, karena beliau menyerahkan kembali uang itu kepada sang polisi. Sementara sang polisi merasa tertolong dan berterima kasih kepada Dr. Sa'id an-Najjar atas kebaikannya mengembalikan uang denda. Jadi, Dr. Sa'id an-Najjar telah menolong dua orang, yakni mantan pencopet dan sang polisi.
Kebaikan tak bisa dibalas dengan keburukan.
Perjanjian dengan Setan
«=»Z. ERSEBUTLAH seorang ulama bernama Abid. Ia tekun menjalankan ibadah. Bertahun-tahun lamanya menyembah Allah dan tak pernah berbuat dosa. Sepanjang waktu, dia sibuk berzikir dan berdoa. Hampir tak pernah keluar dari tempat ibadahnya.
Sementara itu terdengar desas-desus tentang banyaknya orang yang mendatangi sebuah pohon besar untuk keperluan penyembahan. Pohon itu sudah beratus-ratus tahun tumbuh di dekat kuburan. Sekarang daunya rimbun dan batangnya kokoh. Entah siapa yang memulai sampai-sampai tempat itu ramai dikunjungi orang. Mereka datang dari berbagai penjuru untuk membakar kemenyan dan berdoa di sana. Untuk menambah kesan angker, beberapa bagian pohon itu dibalut kain putih. Sungguh mengerikan!
Kabar tentang kemusyrikan itu sampai pula ke telinga Abid. ’’Kemusyrikan itu tidak boleh dibiarkan!” pikir Abid dalam hati. Sebagai orang beriman, Abid merasa bertanggung jawab untuk meluruskan perilaku mereka. Cara yang dianggap tepat adalah memusnahkan pohon itu.
Sejak pagi Abid sudah sibuk mengasah kapaknya. Lalu bergegas pergi untuk melaksanakan niatnya, menebang pohon tersebut. Tapi di tengah jalan ia dicegat oleh orang yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Sebenarnya orang asing itu adalah jelmaan setan penunggu pohon besar.
Rupanya setan tahu rencana Abid dan takkan membiarkan pohon keramat itu dimusnahkan.
’’Selamat pagi Kiai,” sapa orang itu ramah sekali. Dengan ramah Abid tersenyum dan membalas dengan ucapan yang sama.
"Tidak seperti biasanya, Kiai keluar dari tempat peribadatan. Bahkan, aku merasa aneh melihat seorang ulama terkenal berjalan pagi-pagi dengan memanggul kapak. Hendak ke manakah, Kiai?" tanya orang yang berlagak akrab itu.
”Aku hendak menebang pohon di dekat kuburan," jawab Abid. "Mengapa tidak menyuruh orang lain saja, Kiai?" tanya orang itu. "Aku merasa bertanggung jawab sehingga harus kulakukan sendiri," jawab Abid. ’’Bukankah pohon itu sekarang ramai dikunjungi orang. Bagaimana nanti kalau ditebang?” kata setan. "Justru karena itulah aku bermaksud merobohkannya. Agar tidak dikunjungi orang,” jawab Abid.
"Kiai terlalu berani. Padahal tindakan Kiai akan menimbulkan bahaya yang sangat besar bagi keselamatan diri sendiri," lanjut orang itu. ”Tak perlu ada yang ditakutkan," ujar Abid. "Jika pohon itu dirobohkan, maka mereka yang memujanya akan marah. Bisa jadi mereka beramai-ramai membantai Kiai. Termasuk akulah orang yang tidak akan membiarkan pohon sembahan itu musnah dari muka bumi," ujar orang asing itu.
Abid merasakan firasat yang tidak baik. Tiba-tiba ia curiga kepada orang asing yang sejak tadi mengajaknya bicara. Kedua mata Abid menatap lekat-lekat kepada orang itu. Akhirnya Abid sadar bahwa orang yang ada di hadapannya tersebut adalah setan.
"Minggirlah, aku mau lewat!” bentak Abid mulai jengkel. Orang itu tak mau membuka jalannya. Ia tetap berusaha menghalang-halangi langkah Abid.’’Tidak! Aku tidak mengizinkanmu merobohkan pohon itu!” kata orang tersebut.
Keduanya tidak mau mengalah. Mereka akhirnya bertengkar. Orang itu mengarahkan tinjunya ke wajah Abid. Namun dengan gesit Abid menggeser tubuhnya ke samping. Akibatnya, pukulan itu hanya mengenai udara. Abid tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, secepat kilat ia menangkap pergelangan tangan musuhnya. Selanjutnya, tangan kiri Abid menyambar bagian leher. Seketika itu musuhnya tak berkutik.
"Kalau sudah begini, apakah kau masih ingin menghalangi niatku?" tanya Abid dengan napas tersengal sengal. "Maafkan aku. Kiai! Sungguh aku tak akan lagi menghalangi niat Kiai. Tolonglah lepaskan ceng- kraman ini!" orang asing itu merengek rengek.
Abid pun melepaskan cekalan tangannya. Orang asing tersebut mundur selangkah dan membiarkan Abid pergi. Tetapi baru saja beberapa meter berjalan, tiba-tiba Abid di serang dari belakang.
Dengan serta merta Abid membalikkan tubuhnya dan menyerang musuhnya kembali. Ia melancarkan pukulan dan tendangan telak. Dengan jitu, kaki Abid mendarat di lambung orang asing itu. Disusul pula dengan pukulan yang mengenai rahang dan pelipis, sehingga orang itu terdesak. Abid tak memberi kesempatan sama sekali. Kaki kanannya menjegal kaki kiri musuh. Seketika musuh terjatuh. Abid segera menendang dan menginjak leher musuhnya itu sampai benar-benar tak berdaya. Musuhnya berteriak-teriak mohon ampun dan mencoba merayu Abid.
"Ampun Kiai, lepaskan aku!” pintanya dengan bersikap manis. "Tidak! Kali ini kupatahkan lehermu,” bentak Abid geram. Akan tetapi, betapa pandainya setan itu membujuk rayu sehingga Abid pun benar-benar berubah pendirian. Ia lalu melepaskan musuhnya.
"Kiai, hendaknya jangan buru-buru menilaiku jahat. Jangan pula menganggap kalau aku menghalang-halangi niat Kiai. Semua ini kulakukan demi kebaikan Kiai. Jika Kiai mengerti maksudku yang sebenarnya, maka Kiai tak mungkin membenciku. Bahkan Kiai akan berterima kasih kepadaku,” kata orang itu membujuk Abid.
’’Jangan banyak bicara, katakan saja apa yang kau maksudkan!” bentak Abid.
’’Sebenarnya sudah lama sekali aku mengamati kehidupan Kiai yang mem-
prihatinkan. Hatiku jadi terenyuh,” kata setan. "Mengapa?" tanya Abid.
"Kiai sangat baik, dermawan, sopan, ahli ibadah, dan hampir tak pernah berbuat dosa, meski terhadap seekor semut sekalipun. Tapi Kiai tetap saja hidup melarat. Hidup Kiai ternyata lebih buruk jika dibandingkan dengan saudara-saudara, teman-teman, dan orang- orang di sekitarnya. Alangkah sayangnya jiwa murni dan hati bersih, tetapi hidup dalam kemelaratan. ’’
”Aku tidak butuh harta karena aku lebih suka mendambakan serta berbakti kepada Allah.
Karena ibadah yang kulakukan, kelak aku akan mendapat pahala dari-Nya.”
’’Oooo... itu pikiran yang sangat bodoh, Kiai. Pikirkan, seandainya kita kaya, maka kita akan dapat melakukan ibadah dengan sempurna dan lebih tenang. Ingat Kiai, kemiskinan dapat menjerumuskan orang dalam kekafiran. Aku khawatir, kemelaratan Kiai akan menyebabkan Kiai jadi kafir. Padahal puluhan tahun lamanya Kiai berjuang untuk mencegah dosa. Berpuluh tahun lamanya Kiai tekun menjalankan ibadah. Alangkah sayangnya jika perbuatan baik itu menjadi rusak karena kemelaratan,” kata orang tersebut mempengaruhi pendirian Abid.
Abid tampak diam. Agaknya Ia mulai terpengaruh bujukan musuhnya. Pendiriannya mulai goyah. Dalam hati, ia membenarkan ucapan yang baru saja didengarnya itu.
’’Selama ini, Kiai hanya sembahyang, berzikir, dan berdoa kepada Allah. Sampai- sampai tak penah keluar dari tempat peribadatan. Padahal, diluar banyak fakir miskin dan anak yatim yang perlu disantuni. Mereka perlu dibantu. Bersedekah merupakan ibadah yang tak ternilai pahalanya. Amat besar Kiai. Balasannya sungguh luar biasa dibandingkan dengan amalan lainnya."
"Maksudmu?” tanya Abid kemudian.
"Apakah selama ini Kiai pernah bersedekah? Aku yakin Kiai tak pernah memberi sesuatu kepada fakir miskin dan anak yatim. Sebab, Kiai sendiri miskin. Berarti Kiai telah menyia- nyiakan kesempatan untuk meraih pahala v yang besar.”
’’Kuakui, memang aku tak pernah bersedekah. Tetapi aku tekun menjalankan ibadah kepada Allah," ujar Abid. ”Nah, itulah kelemahannya,” kata orang tersebut seakan akan meremehkan. "Sebenarnya harta itu penting. Penting sekali, Kiai!”
Abid tampak manggut. Bibirnya menyungging senyum. Diam diam ia memuji kecerdasan musuhnya itu. "Kau benar,” katanya menimpali. "Makanya aku ingin menjadi sahabat Kiai. Dengarkanlah nasihatku!" Kiai menimpali, "Katakanlah !”
"Kalau kiai berkenan, maka sebaiknya niat merobohkan pohon itu diurungkan saja. Jangan diteruskan. Percuma, tak ada hasilnya. Justru kiai akan terancam. Para penyembah pohon itu akan marah dan berusaha membunuh Kiai. Kumohon dengan sangat, Kiai benar-benar memikirkan untung dan ruginya!!”
"Maksudmu?” tanya Kiai. "Sekarang jawablah pertanyaanku, Kiai! Besar mana pahala dari bersedekah dibandingkan dengan hanya menebang pohon itu?” tanya setan. "Tentu saja bersedekah lebih banyak pahalanya,” jawab kiai
"Mengapa Kiai tidak bersedekah saja?” tanya setan kembali. "Dari mana aku dapat uang?” Abid balik bertanya. "Nah, itulah susahnya menjadi ahli ibadah yang miskin. Tapi jangan khawatir, aku akan membantu kiai. Sekarang kiai boleh pulang. Setelah sampai di tempat ibadah segera periksa di bawah tikar. Di sana ada dua keping dinar!” kata orang itu setengah memerintah.
"Yang benar saja?!” tanya abid dengan penuh harap. "Buktikanlah sendiri!” ujar
orang asing itu meyakinkan. "Bahkan setiap pagi, kiai akan selalu mendapati dua keping dinar secara terus-menerus. Nah, uang itu bisa Kiai manfaatkan untuk sedekah.”
"Darimana uang itu?” sergah kiai. "Percayalah aku akan selalu menaruhnya setiap hari di sana,” kata orang itu meyakinkan. "Akan kubuktikan. Tapi awas, jika kau main- main!” ancam Abid. "Bolehlah Kiai mematahkan leherku ini dengan kapak jika aku berbohong,” ujar jelmaan setan tersebut memberi jaminan.
Abid bergegas pulang dan segera menuju tempat peribadatannya. Dengan hati tak sabar, ia cepat-cepat membuka tikar. Seketika itu, matanya terbelalak melihat dua keping uang dinar yang masih baru tergeletak di bawah alas tidurnya. ”Uang sebanyak itu sudah cukup untuk bersedekah dan memenuhi kebutuhan hidup, bahkan masih lebih,” demikian pikir Abid dalam hati.
Keesokan harinya, ia membuka tikarnya kembali. Didapatinya dua keping dinar yang masih tergeletak. Hati Abid berbunga-bunga. Namun pada hari ketiga, ia tak menemukan apa-apa lag' T Tatinya menjadi sangat kecewa.
"Kurang ajar! Rupanya dia mempermainkan aku,” Abid geram. Abid segera menyambar kapaknya. Kali ini ia benar- benar marah dan takkan membei i ampun kepada setan. ’’Sekarang aku tak main-main. Tak seorang pun yang boleh menghalang- halangi niatku,” demikian pikirnya dalam hati. Di tengah jalan ia sudah dihadang kembali oleh setan yang menjelma menjadi manusia. Dia adalah musuh Abid. Agaknya setan itu tahu betul rencana Abid di pagi itu.
"Kau benar-benar pembohong, penipu, bedebah! Anak setan!” damprat Abid menumpahkan kemarahannya. ”Kau benar, aku memang anak setan. Bahkan, bapaknya setan,” kata orang itu cengengesan.
Kemarahan Abid semakin memuncak. Ia segera menyambar lengan orang itu lalu membantingnya sekuat tenaga. Tetapi musuhnya menyambar kaki Abid dengan cepat. Akibatnya, Abid roboh. Orang itu bangkit lalu menindih tubuh Abid. Leher Abid dicekiknya sampai tak bisa bernapas.
’’Sekarang engkau harus mengakui kalau aku lebih unggul. Saatnya kini engkau memilih, mengurungkan niat untuk menebang pohon itu atau kubunuh?” bentak orang itu. "Lepaskan! Aku akan mengurungkan niatku,” ujar Abid menyerah.
Musuh Abid melepaskan cengkeramannya. Abid lalu berdiri dengan sangat malu. ’’Aku heran, mengapa kali ini kau dapat mengalahkan aku? Padahal, beberapa hari yang lalu, dengan mudah aku dapat meroboh- kanmu?” keluhnya.
’’Dengarlah Abid! ” kata orang itu seenaknya. "Mengapa perkelahian yang lalu engkau lebih unggul dan menang? Sesungguhnya ketika itu niat'dalam hatimu bersih, ikhlas karena Allah. Engkau menebang pohon dengan tujuan untuk ibadah dan memberantas syirik. Tetapi kali ini, kemarahanmu kepadaku bukan karena' Allah.” •
"Karena siapa?” tanya Abid. ’’Engkau marah karena tidak mendapatkan uang di bawah tikarmu. Jadi niatmu kali ini tidak bersih. Niatmu untuk mendapatkan uang. Lalu engkau marah. Tentu saja aL' ».Usp ; ngalahkanmu dengan mudah, ’"kata orang itu.
Abid terdiam. Ia menyesaki perbuatannya. Sekarang ia baru sadar kalau ia ditipu setan.
Hanya karena terpengaruh uang dan demi kepentingan pribadi, akhirnya ia gagal menunaikan tugas sucinya.
Ikhlash adalah sumber kekuatan.
4
/BU Bakar r.a. ketika menjadi khalifah kerapkali menginspeksi keadaan rakyat dan wilayahnya sampai ke pelosok. Hingga pada suatu hari ia berjalan sampai ke padang rumput dekat pegunungan. Udara sangat sejuk. Rumput hijau terhampar. Tenggorokannya pun mulai terasa haus, karena seharian berjalan. Dilihatnya seorang anak penggembala sedang menggembalakan dombanya. Abu Bakar memanggil sang penggembala, barang kali ia bisa mendapatkan air.
"Penggembala, penggembala,” teriaknya sambil melambai-lambaikan tangan. "Ada apa pak? Bapak perlu denganku?” jawab si penggembala sambil mendekati Abu Bakar r.a..
’’Kemarilah, wahai pengem- bala!” teriak Abu Bakar sekali lagi.
Sang gembala semakin mendekat, sambil mengistirahatkan gembalaannya di padang rumput hijau.
”Aku kehausan, mungkin engkau dapat memberikan air susu untukku. Aku ingin membeli susu dari domba gembalaanmu,” pinta Abu Bakar. ”Aku lelah berjalan seharian. Tenggorokanku kering.
Mungkin air susu dari domba- domba ini dapat menyegarkan badan dan menghilangkan dahagaku,” lanjutnya sambil mengelus salah seekor domba di dekatnya.
’’Maaf tuan,” kata sang penggembala. "Aku hanya seorang pe- ngembala. Domba ini bukan milikku. Aku tidak dapat bertransaksi dengan Anda. Tuanku ada di balik gunung itu. Namun, kalau engkau haus dan ingin mendapatkan air
susu domba ini, kau boleh mengambilnya. Nanti, aku akan memintakan izin pada tuanku atau kupotongkan upahku untukmu,” jawab sang penggembala tenang.
Abu Bakar terkesan akan kebaikan hati sang pengembala miskin ini. Ia ingin menguji keimanan sang pengembala. "Wahai penggembala,” katanya. "Bagaimana kalau aku beli saja
domba yang gemuk ini. Satu saja. Ini uangnya. Ambillah!" pinta Abu Bakar dengan nada setengah mendesak.
’’Maaf tuan,” kata sang penggembala. "Sekali lagi, maafkan aku. Aku hanya seorang penggembala. Domba ini bukan milikku. Aku tidak dapat bertransaksi. Tuanku ada di balik gunung itu,” jawab sang penggembala mengelak sambil mengembalikan uang dari Abu Bakar. "Kita harus pergi ke balik gunung itu dan tuan harus membelinya dari majikanku,” lanjutnya.
"Tapi, kau kan dapat mewakilinya,” desak Abu Bakar. Namun desakan Abu Bakar terus ditolak oleh sang penggembala. ’’Begini saja,” kata Abu Bakar. ”Aku beli domba ini dan ini uangnya. Engkau dapat bilang kepada tuanmu bahwa domba ini hilang atau diterkam serigala. Bukankah di daerah sini banyak serigala? Lagi pula, dari sekian banyak domba yang engkau gembalakan, kehilangan satu domba tidak akan ketahuan. Apakah tuanmu setiap hari menghitung domba-domba ini?” desak Abu Bakar. "Tak ada yang tahu. Silahkan ambil uang ini! Dan aku akan membawa dombamu,” lanjutnya.
’’Tuan benar,” jawab sang penggembala. "Memang tidak ada seorang pun yang akan tahu tentang domba ini, kecuali kita. Karena domba ini hanya satu dari sekian banyak domba. Lagi pula serigala memang banyak berkeliaran di padang ini. Majikanku pun hampir tidak pernah menghitung jumlah domba-domba miliknya. Semuanya dipercayakannya padaku,” lanjutnya.
'Tapi tuan,” katanya. 'Tolong jawab. Di- manakah Allah? Rabb yang tidak pernah tidur, yang Mahatahu apa Yang Tersirat, Yang Maha Melihat, Yang Maha Mendengar setiap percakapan, dan Yang Maha Mengawasi. Di manakah Allah wahai tuan?” katanya tegas.
Tertegun Abu Bakar mendengar jawaban lugas sang penggembala. Di tengah padang hijau luas. Di tengah tiupan sepoi angin pedesaan. Sungguh cahaya iman memancar terang dari dada sang penggembala. Hatinya gembira dan terharu. Betapa agung cahaya iman. Dia tegak meski tak ada manusia yang melihatnya. Butiran hangat air mata bahagia menetes di pipinya. Gembira hatinya menyaksikan kualitas iman rakyatnya, meski mereka berada di pelosok wilayah kekuasan yang tak terjangkau birokrasi pemerintahannya. Hatinya tenang menerima kenyataan ini.
Denyut hati yang tersirat atau bisikan di malam gelap, semuanya ada dalam pe- ngawasan-Nya.
TKISAH Ahmad bin Miskin hidup dengan istri dan anaknya yang masih kecil. Kesusahan menderanya terus-menerus. Tak ada pekerjaan yang dilakukannya. Suatu malam, setelah seharian tak secuil pun makanan masuk ke dalam perutnya, hatinya gelisah dan tak dapat tidur. Hatinya perih seperti juga perutnya yang keroncongan. Seperti prajurit yang kalah perang, ia lesu, lemah-lunglai, dan tak ada harapan. Anaknya menangis seharian, karena tak ada air susu dari istrinya yang lapar. Sungguh kefakiran ini membuatnya sangat menderita. Timbul pemikiran darinya untuk menjual rumah yang ditempatinya.
Esoknya, usai shalat subuh berjamaah dan berdoa, ia menemui sahabatnya Abdullah as- Sayyad. "Wahai Abdullah! Bisakah kau pinjamkan aku beberapa dirham untuk keperluan hari ini.
Aku bermaksud menjual rumahku.
Nanti setelah laku akan kuganti,” kata Ahmad.
"Wahai Ahmad... ambillah bungkusan ini untuk keluargamu dan pulanglah! Nanti aku akan menyusul ke rumahmu membawakan semua kebutuhanmu itu,” jawab Abdullah cepat. Maka Ahmad pun pulang ke rumah sambil terus merenung untuk menjual rumahnya. Sungguh sakit kalau harus menjual rumah satu-satunya, sekadar untuk makan. "Setelah itu, saya akan tinggal dimana?” renung Ahmad.
Ahmad segera memantapkan langkahnya. Kini ia membawa bungkusan makanan untuk keluarganya. Tentu istrinya akan gembira dan anaknya akan tertawa lucu setelah memperoleh air susu. "Terasa nikmat roti yang dibungkus ini tentunya. Sahabat Abdullah memang sangat dermawan, sahabat sejatiku," desah Ahmad.
Belum sampai setengah perjalanan, tiba-tiba seorang wanita dengan bayi dalam
gendongannya menatap iba. ’’Tuan, berilah kami makanan. Sudah berapa hari ini kami belum makan. Anak ini anak yatim yang kelaparan, tolonglah. Semoga Allah swt. merahmati Tuan,” ratap ibu itu.
Iba rasa hati Ahmad. Ditatapnya bayi yang digendong wanita itu. Tampak wajah yang layu, pucat kelaparan. Wajah yang mengharap belas-kasihan. Sungguh memelas, tak mampu Ahmad memandangnya lama-lama. Dibandingkan dengan keluargaku, mungkin ibu dan anak ini lebih membutuhkan. ’’Biarlah aku akan mencari makanan yang lain untuk keluargaku,” Ahmad membatin. ”Ini ambillah bu...aku tak punya yang lain, semoga dapat meringankan bebanmu. Kalau saja aku punya yang lain mungkin aku dapat membantumu lebih banyak,” kata Ahmad sambil menyerahkan bungkusan yang sama sekali belum disentuhnya.
Dua tetes air mata jatuh dari mata sang ibu, ’’Terima kasih... terima kasih Tuan. Sungguh Tuan telah menolong kami dan semoga Allah membalas budi baik Tuan dengan balasan yang besar,” si ibu berterima kasih dan menunduk hormat. Maka Ahmad pun meneruskan perjalanan.
Ia beristirahat bersandar di batang pohon sambil merenungi nasibnya. Namun, ia kembali ingat bahwa sahabatnya Abdullah telah berjanji akan datang membawakan keperluannya. Dan Abdullah tak pernah ingkar janji sekalipun. Maka bergegas ia pulang dengan perasaan harap-harap cemas. Di tengah jalan dia berpapasan dengan sahabat baiknya Abdullah.
’’Wahai Ahmad ke mana saja engkau,” tegur Abdullah tersengal-sengal. ”Aku mencarimu ke sana kemari. Aku datang ke rumahmu membawakan keperluanmu yang aku janjikan. Namun, di tengah jalan aku bertemu dengan seorang saudagar dengan beberapa onta bermuatan penuh. Dia ingin bertemu ayahmu. Dia bilang ayahmu pernah memberinya pinjaman 30 tahun yang lalu. Setelah jatuh bangun berdagang, sekarang ia telah menjadi saudagar besar di Bashrah. Kini ia ingin mengembalikan uang pinjamannya, keuntungan serta hadiah-hadiah,” jelas Abdullah. "Sekarang segera pulanglah Ahmad! Harta yang banyak menunggumu. Tak perlu kau jual rumah lagi,” kata Abdullah.
Kaget bukan kepalang Ahmad mendengar perkataan sahabatnya Abdullah. Sungguh ia tak percaya dengan perkataanya itu.
"Benarkah Abdullah, benarkah?" tanya Ahmad ragu-ragu. Maka, ia berlari seperti terbang, pulang ke rumahnya. Sejak itulah Ahmad menjadi orang yang kaya-raya di kotanya.
Ahmad gemar berbuat kebajikan, apalagi kepada sahabatnya Abdullah. Pada suatu malam ia bermimpi. Sepertinya saat itu amalannya dihisab oleh para malaikat. Maka pertama-tama, dosa dan kesalahannya ditimbang. Wajahnya pucat. Betapa berat dosa-dosa yang dimilikinya. ’’Apakah amal kebaikan yang dilakukannya dapat melebihi dosa-dosa itu?” Ahmad membatin.
Perlahan-lahan amal kebaikannya ditimbang. Pahala berderma dengan lima ribu dirham hanya ringan-ringan saja. Kata malaikat karena harus dipotong oleh kesombongan dan riya. Demikian seterusnya. Ternyata seluruh amalannya tetap tak bisa mengimbangi beratnya dosa yang ia lakukan. Ahmad menangis.
Para malaikat bertanya, ’’Masih adakah amal yang belum ditimbang?” "Masih ada,” kata malaikat yang lain. "Masih ada, yakni dua amal baik lagi.”
Ternyata salah satunya adalah roti yang diberikannya kepada anak yatim dan ibunya. Makin pucatlah wajah Ahmad. ’’Mana
mungkin amalan itu dapat menyeimbangkan dosanya yang berat,” keluhnya. Malaikat pun sibuk menimbang roti itu. Namun, ketika ditimbang, ternyata timbangan langsung terangkat. Betapa beratnya bobot amalan itu. Kini timbangan Ahmad tepat seimbang. Wajahnya sedikit tenang. Ia gembira. Sungguh di luar dugaannya.
^ "Namun amalan apalagi yang tersisa? Karena ini masih seimbang, ” katanya dalam hati.
Maka malaikat pun mendatangkan dua tetes air mata syukur dan terharu ibu anak yatim atas pertolongan Ahmad. Ahmad tak menyangka kalau tetes air mata ibu anak yatim dinilai sebagai pahala untuknya. Ia bersyukur. Para malaikat pun menimbang tetes air mata. Namun, tiba-tiba dua tetes air mata itu berubah menjadi air bah bergelombang dan meluas bak lautan. Lalu dari dalamnya muncul ikan besar. Kemudian malaikat menangkap dan menimbang ikan itu yang disetarakan dengan amal baik Ahmad.
Ketika ikan menyentuh timbangan, maka seperti bobot yang sangat berat, timbangan pun segera condong ke arah kebaikan. ’’Dia selamat, dia selamat,” terdengar teriakkan malaikat. Gembiralah hati Ahmad.
’’Sekiranya aku mementingkan diri dan keluarga sendiri, maka tak adalah berat roti dan ikan itu,” Ahmad termenung gembira. Anak yatim dan ibunya itu yang telah menyelamatkan dirinya. Pada saat itu pula Ahmad terbangun dari mimpi.
Amal yang ikhlash di tengah kesempitan, bernilai tinggi di mata Allah swt..
'ALAM suatu kisah, seorang sahabat nabi kedatangan tamu jauh. Waktu yang tidak tepat. Bukan karena sang sahabat ini sedang sibuk atau akan pergi ke tempat lain yang karenanya tidak dapat menerima tamu. Bukan, bukan karena itu. Tapi karena di dapur rumah sahabat ini tidak ada satu pun yang tersisa. Sejak tiga hari ini keluarga itu kelaparan. Dapurnya tak mengebulkan asap, apatah lagi menyediakan suatu hidangan untuk tamunya. Satu-satunya yang tersisa hanyalah bubur encer untuk bayinya.
Maka perdebatan kecil terjadilah di dapur. Sang ibu berpendapat bahwa mereka harus memperhatikan kesehatan bayi mereka. Apalagi yang tersisa hanyalah bubur encer. Kalau diberikan kepada sang tamu pun, bubur itu tidak dapat mengenyangkan. Sedangkan kalau diberikan kepada si bayi, akan sangat bermanfaat. Sementara si bapak-di sisi lain-berpendapat lebih ingin mendahulukan sang tamu. Cukup lama mereka saling melempar argumentasi.
Namun akhirnya disepakati, bahwa mereka lebih memilih untuk memuliakan tamu (sesuai dengan hadits "barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, muliakanlah tamu").
Meski sudah sepakat, mereka masih bingung. Bagaimana cara menghidangkan bubur itu kepada sang tamu? Kenapa? Sebab buburnya sangat encer. Tidak pantas kalau terlihat. Sementara, itu adalah makanan satu-satunya yang tersisa yang dapat dihidangkan. Kemudian, kalau bubur itu dihidangkan dan hanya satu piring, maka akan terkesan janggal. Hanya tamu yang makan sementara tuan rumah tidak menemani makan. Padahal tak mungkin, dari bubur sejumlah itu dipecah menjadi dua piring.
Tapi akhirnya sang bapak mendapat ide, yakni mematikan lampu saat bubur itu dihidangkan. Maka setelah berbincang-bincang,
sang bapak mengeluarkan hidangan dan langsung mematikan lampu. Sambil mem- persilahkan sang tamu makan, ia pun berpura-pura seperti sedang makan.
Dalam keadaan gelap tidak diketahui jenis makanan dan jumlahnya. Sang tamu yang lapar, makan dengan lahap, yang sepertinya ditemani sang tuan rumah. Akhirnya ia pulang dengan perasaan senang. Sang tamu dihormati dan dijamu dengan baik oleh sang kepala sekeluarga, meski dia tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Betapa sang bapak telah mengorbankan satu-satunya bubur encer untuk bayinya, demi sang tamu. Suatu pengorbanan yang tiada tara demi penghormatan kepada tamu. Inilah kualitas iman. Mengetahui kejadian ini, Rasulullah saw. memuji sang sahabat atas sikapnya dalam memuliakan tamu yang menunjukkan kualitas keimanannya.
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, muliakanlah tamu.
^ASULULLAH saw. bercerita, "Ada seorang ahli ibadah dari kalangan bani Israel. Ia telah beribadah di dalam kuilnya selama 60 tahun. Hujan senantiasa membasahi bumi tempat kuil itu dan pepohonan pun tumbuh lebat menghijau di sekelilingnya.
Suatu ketika si rahib ingin keluar dari kuil dan berkata, "Seandainya aku turun dan melihat- lihat kebesaran Allah, maka akan bertambah kebaikanku.” Kemudian si rahib turun dari kuilnya dengan membawa dua potong roti. Pada saat si rahib sedang berjalan, seorang wanita menemuinya. Si rahib dan wanita itu terlibat pembicaraan yang asyik sehingga si wanita lupa diri. Demikian juga si rahib, ia kehilangan kesadarannya sehingga mereka melakukan zina.
Kemudian si rahib turun ke kolam untuk mandi. Saat mandi, seorang pengemis datang kepadanya. Si rahib memberikan isyarat kepada pengemis itu agar ia mengambil dua potong
roti miliknya. Kemudian si rahib itu meninggal.
Lalu ditimbanglah antara amal ibadah si rahib selama 60 tahun dengan perbuatan zinahnya. Ternyata, amal si rahib lebih ringan. Ketika amal dua potong roti itu digabungkan ke amal baiknya, maka amal baiknya lebih berat daripada kesalahan yang ia lakukan. Si rahib pun diampuni dosa-dosanya. (HR Ibnu Hibban) Bobot suatu amal tidak ditentukan oleh jumlah dan tingkat kesulitan melakukannya, melainkan keikhlasannya.
'EBERAPA tahun yang lalu para imigran Irlandia menerima teori bahwa mereka dapat mengkonsumsi semua kentang besar. Sedang kentang kecil untuk keperluan pembibitan. Mereka melakukannya selama beberapa waktu. Mereka makan semua kentang yang besar dan menanam kentang yang kecil.
Akan tetapi, tidak lama kemudian mereka mulai memahami hukum alam lebih dalam. Saat mereka tetap menjalankan teori di atas, alam membuat kentang-kentang mereka makin hari semakin kecil dan akhirnya menjadi sebesar kelereng. Para petani Irlandia belajar melalui pengalaman pahit bahwa mereka tidak dapat menyimpan hal-hal terbaik dari hidup untuk diri sendiri dan menggunakan sisanya untuk pembibitan.
Hukum alam menyatakan bahwa musim panen mencerminkan musim tanam. Menanam kentang-kentang yang kecil merupakan praktik umum dewasa ini. Kita sering mencoba menyimpan sesuatu yang terbaik dari hidup kita untuk diri kita sendiri dan menanam barang yang kurang baik. Kita perlu mengingat apa yang di- pelajari oleh para petani Irlandia, "Kita tidak dapat memakan semua kentang yang besar, namun masih tetap berharap untuk mendapatkannya selama bertahun-tahun." Sungguh,panen mencerminkan musim tanam.
Tanyakan pada diri sendiri. Apa yang sedang saya tanam dalam hidup? Apakah panenan saya mencerminkan apa yang sudah saya tanam
atau panenan yang masih | |
akan saya panen? | |
Hanya ada satu hukum | |
yang berlaku, engkau menuai | |
apa yang engkau tanam, tidak | |
yang lainnya. |
'LKISAH, pada suatu hari dalam suatu pertempuran besar, kaum muslimin berhadapan dengan kaum kafir dalam jumlah besar yang tak seimbang. Ali r.a. berhadapan dengan musuhnya yang musyrik. Pertarungan pedang yang menegangkan dan seru karena lawan Ali r.a. sangat kuat dan sangat ahli memainkan pedang. Kadang-kadang, Ali terdesak karena serangan lawan yang dahsyat. Namun, pada saat berikutnya ia mampu menekan lawan ke posisi sulit.
Ali berhasil mendesak lawan dan mementalkan pedang yang dipegangnya. Lawan jatuh tersungkur kemudian terlentang, dengan pedang terlepas jauh dari tangannya. Habis sudah perlawanan gigih sang musyrik. Ali tinggal memenggal kepala atau menusuk dada lawannya
dengan pedang yang siap dihunuskan.
Lawannya nampak pucat. Tak ada harapan hidup. Namun, yang cukup mengejutkan adalah sang musyrik bukannya menyerah, malah dengan berang, ia meludahi wajah Ali r.a..
Maka sungguh gusarlah Ali r.a.. Merah padam wajahnya. Marah mendidih menguasai jiwanya. Ingin sekali ia memenggal leher lawannya. Namun ia malah menurunkan pedangnya yang telah terhunus. Me- nyarungkannya kembali dan hendak segera berlalu.
Sang lawan sungguh terkejut. Padahal, kalau Ali mau, maka dirinya sudah membujur kaku, terpisah antara kepala dan badan. Dia sama sekali tak berdaya. ’’Tapi, kenapa Ali malah meninggalkannya. Bukankah, ia telah meludahinya. Seharusnya Ali dengan kalap membunuhnya? Tetapi, kenapa ia malah pergi?” hatinya membatin.
Dengan penasaran sang musyrik berkala,"’’Wahai Ali,” katanya. "Kenapa engkau tak segera membunuhku? Bukankah kalau engkau mau, engkau dapat melakukannya dengan mudah. Seharusnya engkau marah, karena aku telah meludahi wajahmu dan segera membunuhku.” tanyanya.
Ali yang telah menguasai dirinya kem- bali-dengan tenang-menjawab, "Wahai fulan,” katanya. "Engkau benar. Kalau aku mau, aku dapat membunuhmu. Apalagi engkau telah meludahi dan membuat hatiku sangat gusar,” tambahnya.
’’Ketahuilah, aku berperang, jihad f i sabilillah. Bukan untuk kepentinganku, tetapi untuk membela agamaku. Aku bertempur menghadapi lawan-termasuk engkau-yang tidak aku kenal sebelumnya dan juga bukan musuh-musuhku, karena dorongan agamaku. Maka sebelum engkau meludahiku, niatku ikhlash kepada Allah swt. berperang melawanmu sampai aku membunuh atau terbunuh. Tak ada kekhawatiran bagiku atas keduanya. Kalau aku terbunuh, maka syahidlah aku dan syurga menungguku. Kalau aku menang, maka kejayaan Islam adalah buahnya," kata Ali.
"Namun,” lanjutnya, "Setelah engkau meludahi wajahku. Hatiku geram. Merasa- terhina. Ingin nafsuku membunuhmu. Kalau itu aku lakukan, maka jatuhlah aku pada posisi hina. Karena aku membunuh menuruti hawa nafsuku, bukan karena tuntutan agama dengan ikhlash. Maka apalah artinya aku membunuhmu, kalau kerugian yang justru aku terima. Itulah sebabnya aku meninggalkanmu dan tidak membunuhmu. ”
Sang musyrik tercengang. Terasakan olehnya keagungan pribadi Ali r.a.. Sungguh, Islam telah membentuk manusia-manusia yang ikhlas dan ihsan. Manusia-manusia tangguh yang bebas dari belenggu hawa nafsu. Sungguh, ia iri melihatnya. Hatinya pun luluh atas pancaran nilai-nilai rabbani.
’’Kenapa aku harus mempertahankan diri melawan Islam, agama yang demikian mulia dan dahsyat?” ia membatin.
'Bukankah, akan lebih beruntung kalau aku justru berjuang bersama agama ini?” hatinya kembali mendesak.
Sang musyrik telah kalah dan sekaligus menang. Ia kalah dalam pertempuran melawan Ah r.a.. Namun, ia menang, karena mendapat perasaan baru yang menenteramkan dan keyakinan akan keagungan Islam.
Berbuat bukan karena-Nya adalah kesia- siaan.
Bertindak karena nafsu adalah kehinaan.
'ALAM sebuah riwayat, pada suatu malam, Abu Haniiah didatangi seorang lelaki. Orang itu berkata, ’’Tolonglah aku sebelum fajar menyingsing, bila tidak, berarti aku ceraikan istriku.”
Abu Hanifah bertanya keheranan, ’’Bagaimana bisa begitu?” Orang itu menjawab,"Malam ini istriku mogok bicara denganku, maka aku sumpahi dia. Jika fajar terbit dan kamu tidak mau bicara denganku maka kamu akan saya ceraikan dengan talak tiga.” Aku sudah menggunakan segala macam cara agar ia mau bicara, tetapi ia tetap tidak mau bicara.”
Abu Hanifah berkata, "Pergilah dan temui muazin masjid! Suruhlah ia azan sebelum fajar. Barangkali bila istrimu mendengar (azan) ia akan berbicara denganmu. Kemudian temui istrimu serta rayulah dia supaya ia bicara sebelum si muazin mengumandangkan azan (palsu)-nya.” Lelaki itu menuruti anjuran Abu Hanifah. Ia sudah membujuk istrinya untuk bicara, kemudian terdengar suara azan. Si istri berkata, ’’Fajar telah terbit, sungguh aku telah bebas dari- mu.” Suaminya menukas, "Bahkan, kamu bicara padaku sebelum fajar dan aku terbebas dari sumpahku. ”
Akal dan tipu daya kadang berguna untuk kebaikan.
✓ASAN al-Banna bercerita tentang kisah-kisah anggota ikhwan dalam Mudzakirat Da'wah wn Da'iyaK):
Mr. Saulant-seorang Direktur Otorita Terusan Suez-memanggil Akh Hafidz agar mereparasi furnitur di rumahnya. Mr. Saulant menanyakan berapa upah yang harus dibayarkan. Maka Hafidz menjawab spontan bahwa ongkos perbaikan furnitur itu seharga 130 qirsy. Namun, bukannya me-nawar atau mengiyakan Mr.
Saulant malah berkata dalam bahasa Arab, "Anta haramiV’
(Anda penjahat).
Akh Hafidz dengan tidak mengerti dan sambil menahan emosi menjawab, ’’Memangnya kenapa? ’’Dijawab oleh Mr.
Saulant bahwa dengan ongkos sebesar itu, menurutnya, Hafidz hendak mengambil lebih dari haknya. Oleh sebab itu, pantas dikatakan sebagai penjahat.
Hafidz marah, "Aku tidak akan mengambil lebih dari hakku. Walapun demikian, Anda dapat memanggil arsitek lain yang akan menjadi bawahan Anda. Kalau aku telah mengambil hak yang bukan semestinya aku terima, maka Anda akan menerima tenaga saya tanpa upah sebagai hukuman. Namun, kalau arsitek Anda mengatakan bahwa pekerjaan saya sesuai, maka Anda harus membayar
*) Hasan al-Banna, Memoar Hasan al-Banna (Intermedia, Solo, 1999).
r
sesuai harga itu tanpa harus menambah."
Maka, Mr. Saulant memanggil salah seorang arsiteknya untuk menilai upah yang pas untuk Akh Hafidz. Ternyata menurut sang arsitek, selayaknya akh Hafidz menerima upah sebesar 200 qirsy untuk pekerjaannya. Mr. Saulant memahami nilai upah yang seharusnya, maka segeralah ia meminta Hafidz untuk memulai pekerja-annya. Namun yang mengejutkan, akh Hafidz tidak mau memulai, kecuali kalau Mr. Saulant meminta maaf terlebih dahulu dan mencabut perkataannya.
Mr. Saulant marah mendengar permintaan Hafidz. Tabiat Prancisnya yang kasar menguasai dirinya, lalu ia mengomel luar biasa. Kesombongan telah membuatnya berkata angkuh, "Kamu ingin agar saya meminta maaf kepada kamu? Memangnya siapa kamu ini? Seandainya kamu ini Raja Fuad sekalipun aku tidak mau meminta maaf kepadamu, ” katanya.
Dengan dingin Hafidz berkata, "Ini merupakan kesalahan yang lain. Wahai Mr. Saulant Anda ini berada di negeri Raja Fuad. Etika bertamu dan berterima kasih itu mengharuskanmu untuk tidak mengucapkan kata- kata seperti ini. Saya tidak mengizinkanmu untuk menyebutkan namanya, kecuali dengan adab dan penghormatan.”
Mr. Saulant membiarkan saja Akh Hafidz. Ia lalu membalikkan badannya dan berjalan, sementara kedua tangannya dimasukan ke dalam saku. Hafidz pun duduk di atas kursi bersandarkan meja. Kemudian Mr. Saulant kembali menatap Hafidz dan berkata, "Seandainya saya benar-benar tidak meminta maaf kepada kamu, apa yang akan kamu lakukan?"
"Gampang,” jawab Hafidz cepat. "Aku akan menulis laporan kepada kedutaanmu, kemudian kepada konsulmu. Setelah itu saya akan menulis kepada pimimpin otorita Terusan Suez yang berada di Paris, kemudian ke koran-koran Prancis setempat maupun koran- koran asing. Di samping itu, saya akan mengadukan Anda kepada setiap anggota dewan tersebut yang datang ke sini. Jika ternyata- setelah semua itu saya lakukan-belum berhasil, maka saya akan menghinakanmu di jalanan atau di tengah kerumunan khalayak. Dengan begitu saya meraih apa yang kuinginkan dan engkau tidak usah menungguku untuk mengadukanmu ke pemerintahan Mesir yang telah engkau belenggu sehingga suka memberi hak-hak istimewa kepada pihak asing yang zalim. Yang jelas, saya tidak akan puas sebelum saya mendapatkan hak saya, dengan cara apa pun,” tegas Hafidz.
"Tampaknya saya ini berhadapan dengan seorang advokat bukan seorang tukang kayu," jawab Saulant keras. "Namun, tidakkah engkau tahu saya ini adalah seorang insinyur senior yang ada di Terusan Suez? Bagaimana mungkin engkau berpikir saya akan meminta maaf kepadamu?” lanjutnya setengah mengejek.
"Baiklah, baiklah,” jawab Hafidz. "Mr. Saulant tentu faham bahwa Terusan Suez ini berada di negeriku bukan negeri Anda. Setelah proyek ini selesai, maka terusan ini kembali menjadi milik kami. Dan Anda sebagai pegawai akan kembali ke negeri Anda. Coba pikirkan, kalau begitu apakah mungkin saya memberikan hak saya kepadamu?” sambung Hafidz.
Mr. Saulant kembali membalikkan badan. Dengan kesal, dipukulnya,meja keras-keras beberapa kali, "Baiklah, baiklah. Saya minta maaf. Saya cabut kata-kata saya tadi, "jawabnya.
Maka Hafidz pun bekerja dengan baik. Setelah selesai Mr. Saulant memberinya 150 qirsy, namun ditolaknya dan hanya diambil 130 qirsy sesuai dengan kesepakatan. "Ambillah Hafidz, lebihnya itu sebagai tambahan untukmu,” kata Saulant.
"Tidak, terima kasih," jawab Hafidz.
”Aku tidak akan mengambil yang bukan hakku. Agar aku tidak disebut haram,” tegas Hafidz. Mr. Saulant terperanjat, "Aneh, kenapa tidak semua orang Arab seperti kamu? Apakah kamu ini famili Muhammad?” katanya.
’’Setiap orang Arab itu famili Muhammad, hanya saja karena mereka bergaul terlalu banyak dengan mister-mister itu akhlaknya
menjadi rusak,” jelas Hafidz.
Tiba-tiba Mr. Saulant menjabat tangan Hafidz, "Terima kasih engkau telah membantuku. Selamat, selamat semoga engkau baik-baik selalu.”
Izzah itu milik orang beriman yang berakhlaq mulia.
Jangan Pedulikan Omongan Orang
UHA dan anaknya adalah dua orang yang selalu berbeda perilakunya. Setiap kali Juha memerintah anaknya untuk melakukan sesuatu, ia selalu menentang perintah itu dengan berkata, ”Apa kata orang tentang kita, jika mereka mengetahui akan hal itu?”
Suatu ketika, Juha ingin memberi pelajaran kepada anaknya. Suatu pelajaran yang berguna dan membuatnya berhenti menuruti omongan orang lain. Karena dengan menuruti omongan orang, semua tujuan tidak akan bisa dicapai.
Ia menaiki seekor keledai dan menyuruh anaknya berjalan di belakang. Belum lama mereka berdua melangkah, mereka bertemu dengan beberapa wanita.
Para wanita ini berteriak kepada Juha, "Bagaimana kamu ini wahai lelaki, tidak adakah dalam hatimu rasa kasihan. Engkau naik keledai, sedangkan anakmu yang masih kecil engkau biarkan berjalan mengikutimu di belakang?”
Mendengar ucapan mereka,
Juha turun dari keledainya dan menyuruh anaknya naik keledai itu. Mereka kemudian melewati sekelompok orang tua yang sedang duduk di bawah terik matahari. Salah satu dari mereka me- nepukkan kedua belah tapak tangannya dan menarik perhatian orang lain untuk melihat lelaki tolol yang berjalan dan membiarkan anak-anak naik keledai. Orang-orang itu mengomentari mereka, "Mau-maunya kamu berjalan dan membiarkan hewan ini untuk anakmu, lalu kamu berharap bisa mengajarinya malu dan sopan santun?”
Juha berkata kepada anaknya, "Bukankah engkau mendengar ucapannya? Kalau begitu kita naik keledai ini bersama-sama. ” Kedua orang ini naik keledai dan melanjutkan perjalanan.
Kisah-Kisah Teladan untuk Keluarga: Pengasah Kecerdasan Spiritual
. *
Kemudian mereka bertemu sekelompok orang (dalam istilah sekarang kelompok penyayang binatang). Mereka meneriaki ayah dan anaknya, ’’Tidakkah kalian takut kepada Allah? Menyiksa hewan yang kurus ini. Kalian berdua menaikinya bersama-sama, padahal berat badan kalian lebih berat dari berat keledai?”
Juha turun dari keledai dan menurunkan anaknya. Ia berkata, ’’Bukankah engkau mendengar ucapan mereka? Marilah kita beijalan kaki dan membiarkan keledai ini berjalan di depan kita, supaya kita aman dari omongan jelek para lelaki, perempuan, dan para penyayang binatang.” Keduanya pun beijalan dan keledai itu berjalan di depan mereka. Di tengah jalan mereka bertemu dengan sekelompok orang yang suka usil yang pintar mengolok-olok. Mereka membuat Juha dan anaknya sebagai bahan ejekan dan hinaan.
Mereka berkata, "Demi Allah, sebaiknya kalian menggotong keledai ini agar kalian bisa menjaganya dari jalanan yang tidak rata.” Mendengar ucapan mereka, Juha dan anaknya mencari sebuah pohon, lalu me
motong dahan yang kuat dari pohon itu. Mereka mengikat keledai pada pohon itu dan kemudian menggotongnya. Belum berselang lama mereka berjalan, orang-orang berarak- arakan mengikuti Juha dan anaknya. Mereka menertawakan pemandangan aneh itu, sehingga seorang polisi menghentikan arak- arakan tersebut, lalu membawa Juha dan anaknya ke tempat penampungan orang gila.
Ketika perjalanan mereka berakhir di rumah sakit jiwa, tiba saatnya untuk menjelaskan kepada anaknya kesimpulan dari pengalaman mereka. Juha menoleh kepada anaknya sambil berkata, "Inilah, wahai anakku, akibat orang yang suka mendengarkan omongan orang lain, juga orang yang tidak berbuat kecuali untuk menyenangkan orang lain.”
Mengikuti omongan orang berarti membiarkan diri kita menjadi gabus terapung di tengah ombak laut nan ganas yang setiap saat dapat mengempaskan kita ke batu karang yang cadas.
'I' >['
'UATU hari, para eksekutif muda Skotlandia pergi berlibur ke pinggir hutan. Mereka berlima sepakat untuk berlibur tanpa keluarga ke tempat yang tenang, sejuk, dan hijau. Dengan asyik mereka bercengkerama. Sesekali saling menertawakan betapa bodohnya mereka saat- saat di kantor atau mereka saling ejek atas perilaku lucu mereka terhadap teman sejawat. Yang jelas, tampak keceriaan di wajah kelima eksekutif muda itu.
Namun, tiba-tiba cuaca menjadi gelap. Angin yang semula sepoi-sepoi berubah menjadi semakin keras. Bahkan, suara guntur di selingi kilat yang menyambar, mulai memekakkan telinga. Titik- titik air hujan mulai turun dan perlahan-lahan berubah menjadi deras.
Tak ayal mereka berebutan mencari tempat berteduh. Mulanya mereka mengambil tempat di bawah pohon besar di dekat mereka. Namun, tampaknya tidak cukup untuk ber- lindungi dari hujan yang deras di th pohon besar itu. Mereka pun mulai berlarian mencari tempat perlindungan baru yang lebih baik.
Salah seorang dari eksekutif muda itu-yang paling berani-me- nemukan gua di pinggir hutan dan mengajak para sahabatnya untuk masuk ke gua. Setelah yakin bahwa gua itu aman dari binatang buas atau ular, maka masuklah mereka berlima ke dalam gua itu untuk berteduh.
Hujan turun semakin deras.
Mereka pun semakin masuk ke dalam gua yang semakin gelap.
Mendadak terdengar suara gemuruh. Tiba-tiba pintu gua yang tadinya terbuka lebar tertutup bongkahan batu besar. Dengan terkejut mereka kembali mendekati pintu gua dan berusaha mendorong bongkahan batu keluar. Bersusah payah mereka berupaya membuka pintu gua itu. Nampaknya bongkahan batu besar itu memang terlalu besar untuk dapat didorong oleh tenaga mereka berlima. Jangankan terbuka, sedikit pun batu besar itu
tidak tergeser.
Semangat untuk membuka pintu gua akhirnya padam. Mereka mencari akal untuk melihat ke dalam gua lebih jauh. Barangkali saja mereka menemukan pintu gua di sisi lainnya. Eksekutif muda ini mulai berpencar dan mencoba mencari jalan keluar. Meski telah dilakukan dengan sungguh-sungguh dan berpencar ke segala arah, namun usaha ini pun gagal.
Berbagai cara lain yang terpikirkan pun terus diupayakan. Tetap saja, pintu gua tidak terbuka dan jalan keluar lain juga tidak ditemukan. Akhirnya mereka berkumpul di tengah kelelahan. Mulanya mereka masih mendiskusikan upaya-upaya mencari jalan keluar. Lama-kelamaan mereka mulai saling menyalahkan. Ada yang mempertanyakan mengapa harus berlibur ke pinggir hutan. Ada lagi yang menyalahkan mengapa harus berteduh di dalam gua ini dan lain sebagai- nya. Suasana tidak hanya menjadi suram dan menyedihkan, tapi juga menyiratkan keputus- asaan.
Di tengah keputusasaan itu salah seorang eksekutif muda yang pemberani tiba- tiba berteriak. "Lihat, lihat kemari! ” serunya. "Aku memiliki peta gua ini," katanya sambil memperlihatkan kertas seperti peta yang ada di tangannnya. Dengan penuh keyakinan pemuda ini menunjukkan peta yang dipegangnya kepada empat orang kawannya yang lain.
Suasana pun menjadi ramai. "Mana, mana aku pingin lihat! ” kata pemuda penakut yang sejak tadi hanya diam dan menangis. "Sudah, yang penting mari kita baca peta itu, ” sambut pemuda yang lain. Mereka berkerumun melihat peta yang ada di tangan si pemberani.
Beberapa saat kemudian, mereka berdiskusi berusaha menafsirkan peta yang ada. Dengan keyakinan kuat mereka mulai menelusuri petunjuk dalam peta itu. Para eksekutif muda itu berjalan perlahan-lahan dengan keyakinan yang mantap dan perasaan gembira mengikuti arah peta. Dengan beberapa kali kesalahan dan langkah-langkah memutar, akhirnya mereka menemukan pintu lain dari gua itu. Udara di luar pun sudah terang dan hujan telah berhenti.
Dengan gembira mereka mengangkat beramai-ramai si pemilik peta. Beruntunglah mereka. Coba kalau si pemberani tidak memiliki peta itu, niscaya mereka akan terkurung dalam gua dan mati kelaparan. Semakin mereka mengingat keadaan mereka di dalam gua semakin gembiralah mereka.
Si pemilik peta tiba-tiba tergerak melihat kembali peta yang tadi mereka gunakan. Ia terkejut, karena peta itu, ketika dibaca di luar gua yang terang, hanyalah foto keluarganya yang basah terkena air hujan, sehingga tampak seperti peta. Itu bukan peta, hanya foto yang basah dan luntur yang terlihat seperti peta. Ketika si pemberani menunjukkan foto itu kepada empat kawannya, mereka semua tertegun bingung. Mereka termenung lama, meski akhirnya tetap pulang dengan gembira.
Dalam keadaan gelap peta apa pun tetap berguna karena ia akan menjadi fokus yang menyinergikan potensi yang ada.
<=-C^ANTAI California tertutup kabut pada tanggal 4 Juli 1952, dua puluh satu mil ke arah barat, di pulau Catalina, Florence Chadwick. Seorang perenang jarak jauh berusia 34 tahun terjun ke dalam air dan mulai berenang menuju Pantai California. Dia telah menaklukan Selat Inggris-berenang pulang pergi-dan kini harus menaklukkan Selat Catalina.
Sejalan dengan waktu, Chadwick berjuang menahan dingin yang menusuk tulang, kabut tebal yang meredupkan harapan, dan ikan hiu yang ganas. Beberapa kali ikan hiu dihalaunya dengan senapan. Kelelahan tidak dirasakannya. Namun, dingin telah menembus ke tulang-tulang dan membekukan badan, serta menghabiskan tenaganya. Ia berusaha melihat pantai melalui pelindung mata. Yang tampak hanya kabut tebal. Dia sadar bahwa dia tak dapat berenang lebih jauh lagi. Walaupun ia bukan seorang yang mudah menyerah, akhirnya ia minta kepada pelatih dan ibunya di perahu motor untuk mengangkatnya. Mereka mendorong agar ia tetap bertahan.
Namun, sekali lagi, pandangan ke arah Pantai California yang ada hanyalah kabut tebal.
Setelah berjuang menghalau beku selama 15 jam 50 menit,
Chadwick keluar dari air dan duduk di perahu motor. Namun, apa yang terjadi? Ternyata, setelah kabut menipis, terlihat bahwa jaraknya dengan pantai kurang dari setengah mil. Sesalpun tak ada gunanya. Kabut telah mengalahkannya. Mengaburkan tujuan, membutakan mata, akal, dan tekadnya.
Dua bulan kemudian, dia berenang di selat yang sama dan saat itu juga kabut tebal menghalangi pandangannya. Meskipun demikian, dengan keyakinan penuh bahwa di balik
kabut terbentang daratan pantai California Keyakinan visi adalah hati dan se-
yang indah, ia meneruskan perjuangannya. mangat, yang dapat diubah menjadi energi Kali ini ia berhasil. Bahkan, memecahkan gerak tak terbatas untuk mencapai tujuan, rekor dua jam lebih cepat.
/BU Hurairah r.a. mengisahkan bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, "Ada seorang lelaki dari bani Israel meminta kepada sahabatnya yang juga dari bani Israel agar meminjaminya uang seribu dinar. Sahabat lelaki itu berkata, 'Hadirkan para saksi agar aku dapat menjadikan mereka para saksi.’ Lelaki itu menjawab, 'Cukuplah Allah sebagai saksi.’ Sahabat lelaki itu memberi alternatif, 'Kalau begitu datangkanlah orang yang menjamin (bahwa kamu akan membayar) utangmu!’ Lelaki itu bersikeras, 'Cukuplah Allah sebagai penjamin.’ Sahabat lelaki itu menukas, 'Engkau benar.' Ia pun meminjamkan uang seribu dinar dengan batas waktu pengembalian yang ditentukan. ”
Kemudian si lelaki peminjam uang melakukan perjalanan lewat laut untuk menyelesaikan keperluannya. Saat jatuh tempo pengembalian hutang, ia mencari kapal laut untuk kembali dan membayar utangnya. Namun, ia tidak berhasil mendapatkan kapal.
Ia lalu melubangi sebilah kayu dan V«,
kerhudian memasukan uang seribu dinar dan selembar surat untuk sahabatnya. Ditutupnya kembali lubang kayu itu dan dilarung ke laut. Lelaki itu berkata,
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku berutang kepada si fulan uang seribu dinar. Saat ia meminta jaminan aku menjawab,
'cukuplah Allah sebagai jaminan.'
Ia juga meminta saksi dan aku katakan, 'Engkau sebagai saksi.’
Sungguh, aku telah berusaha untuk mendapatkan kapal agar aku bisa mengirimkan uangnya.
Tetapi, aku tidak mendapatkannya. Aku titipkan uang ini kepada- Mu.” Kemudian ia' melemparkan kayu itu hingga hanyut terbawa ombak. Lalu ia pergi ke kapal yang mengantarkannya ke negerinya.
Sementara itu sahabat yang telah meminjamkan uang kepadanya sudah menunggu-
nunggu, barangkali ada orang yang hendak membayar utangnya itu. Tiba-tiba, ia melihat sepotong kayu terapung di laut. Ia pungut kayu itu dan menjadikannya sebagai kayu bakar untuk keluarganya. Saat lelaki itu membelah kayu, ia melihat uang dan surat yang dikirimkan oleh orang yang dulu meminjam uang.
Beberapa waktu kemudian, si lelaki peminjam uang itu datang dan menyerahkan uang seribu dinar. Lelaki itu berkata, ’’Demi Allah, aku telah berusaha sekuat tenaga supaya aku bisa membayar utangku padamu. Namun, aku tidak mendapatkannya sampai saat sebelum aku datang padamu sekarang ini." Sahabat lelaki itu berkata, "Apakah engkau mengirimkan sesuatu kepadaku?” Lelaki itu berkata, "Sudah kukatakan kepadamu bahwa aku tidak mendapatkan kapal kecuali sebelum kedatanganku ini.” Sahabat lelaki itu berkata, "Sesungguhnya Allah telah menyampaikan kayu yang engkau kirimkan dan menujukkan uang seribu dinar itu kepadaku.”
Sesungguhnya Aliahlah sebaik-baik saksi.
puncak sebuah bukit yang tinggi, tempat orang bisa memandang keindahan kota santa Barbara, hiduplah seorang tua yang bijak. Menurut cerita, dia dapat menjawab dengan baik apa pun pertanyaan yang diajukan padanya.
Dua orang pemuda setempat bermaksud menjebaknya. Untuk itu, mereka menangkap seekor burung kecil dan membawa menghadap pak tua yang bijak. Sesampainya di hadapan pak tua yang bijak, mereka mengajukan pertanyaan, sambil menyembunyikan burung di belakang punggung mereka. "Hai orang tua, dapatkah engkau menjawab pertanyaanku?” tanyanya. "Dapatkah engkau me-ngatakan, apakah burung di tanganku ini masih hidup atau sudah mati?”
Pak Tua menatap wajah kedua pemuda itu dengan lembut.
Lalu dengan suara tegas ia berkata,
’’Wahai anak muda kalau aku mengatakan burung itu masih hidup, maka engkau akan meremukkan burung itu dengan tanganmu hingga mati. Namun, kalau aku katakan burung itu sudah mati, maka engkau akan melonggarkan tanganmu dan membiarkan burung itu terbang.”
Lanjutnya, "Wahai anakku, di tanganmu engkau memegang kuasa kehidupan dan kematian.
Dan itu adalah tanggung jawab yang mahabesar.”
Kedua anak muda itu terkejut dan menatap satu sama lain dalam kekaguman luar biasa. Orang tua ini sungguh sangat bijaksana, pikir mereka.
Mereka tidak berhasil membodohinya sedikit pun.
Kemudian pak tua itu me- nasehati, ’’Wahai anak muda, di tanganmu tersimpan potensi keberhasilan besar dan juga kegagalan. Tanganmu sangat mampu melakukan itu, seperti kemampuan mematikan dan menghidupkan burung. Engkau memiliki
tanggung-jawab yang besar bagi keberhasilan hidup kalian kelak. Maka gunakanlah tanganmu itu untuk melaksanakan tanggung jawab besar tersebut.”
Kedua anak muda itu akhirnya turun gunung dengan gembira. Melepaskan dan
memandangi terbangnya burung dengan keceriaan. Mereka meyakini, masa depan mereka ada dalam diri mereka sendiri.
Masa depan ada di tangan kita, bukan pada siapa-siapa.
I Yarmuk darah deras mengalir. Perang besar antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin. Dari pihak kaum muslimin, beberapa orang telah menemui syahid yang didamba dan lainnya yang terluka.
Tak ada gejolak yang lebih besar bagi Hudzaifah al-Adawi selain menghambur ke medan jihad setelah melihat luka saudara-saudaranya seakidah. Sebelum mengayunkan pedang menebas leher musuh-musuh Allah, ia lebih dahulu mengusung sebuah bejana penuh air untuk membantu mengatasi rasa haus para jundullah yang terluka.
Pedang ia letakkan sambil mengawasi gerak musuh.
Air bejana ia tegukkan untuk mujahid yang terluka.
Namun, sebelum tetesan air mengalir membasahi teng- gorokan mujahid, sang mujahid menepiskan bejana ketika mendengar erangan rekannya di ujung sana. Sang jundullah meminta agar Hudzaifah segera pergi ke arah suara erangan tadi,
Bawalah air untuknya. Aku tidak lebih mulia dari jiwa siapa pun yang berjuang di jalan Allah.”
Orang yang mengerang tadi ternyata Hisyam bin al- Ash. "Semoga Allah merah- mati engkau ya Hudzaifah,” sambutnya. Hudzaifah belum sempat mengangkat bejana air ketika tiba-tiba Hisyam menunjuk kepada saudaranya yang lain yang juga terluka. "Bawalah air ini padanya. Ia lebih memerlukannya ketimbang aku, ” pintanya.
Hudzaifah menuju orang yang terluka tadi. Tapi terlambat, sang mujahid telah syahid
menemui Khaliknya dengan bersuka ria. Hudzaifah tercengung dan mendoakan. Dengan sigap kembali ia melompat menuju tempat Hisyam dan ia telah syahid juga. Rasa haru makin menjadi manakala ia berlari menuju tempat orang pertama yang akan ia tolong. Ternyata sang mujahid ini pun telah syahid menuju keharibaan Ilahi. Tak jelas siapa yang lebih dahulu syahid, mujahid ini atau saudaranya yang lain. Air mata menggenang di wajahnya. Rasa haru mengiringi kilau pedang hudzaifah membabat leher para hizbusy-syaithon di Yarmuk.
Terbuktilah konsep manusia yang diteorikan para pemikir jahil bahwa manusia makhluk yang ego sentris, yang melulu mementingkan diri dan memusatkan berbagai perilaku sosialnya demi keuntungan pribadi. Paling tidak verifikasi Perang Yarmuk berkata lain. Fitrah manusia adalah hanif, lurus, penuh kasih sayang, dan rela berkorban demi saudaranya seakidah. Manusia adalah makhluk yang mulia yang rela berkorban demi kepentingan saudara-saudara mereka.
Manusia adalah makhluk yang halus budinya, tunduk patuh, tahan menderita demi kabahagiaan saudaranya, dan tak suka berebut sesuatu dengan saudara demi kepentingan pribadi. Ia adalah makhluk yang terbaik yang diciptakan Allah yang Mahatahu, Rabb Yang Mahapandai, Khalik Yang Mahakuasa. Ia adalah makhluk yang diberi kepercayaan oleh Penguasa Jagad Raya untuk menjadi khalifah di bumi dan memberikan rahmat pada alam. Selain makhluk terbaik, mustahil dapat menjalankan misi yang diembankan Allah ini.
Itulah manusia muslim yang berserah diri kepada dan hanya untuk Allah. Yang tunduk dan menundukkan diri. Yang patuh dan taat hanya kepada Rabb Yang Agung, manusia yang merdeka. Manusia yang bebas dari jerat syahwat dan fitnah. Manusia yang pekat dengan akhlakul karimah, yang pancarannya melembutkan kalbu. Inilah manusia yang hatinya ter-sibgah (terwarnai) dengan warna Islam. Manusia sempurna
Tingkat ukhuwah tertinggi adalah itsar. (rela berkorban demi kepentingan saudaranya).
dengan para pemimpinnya masing-masing. Setelah itu mereka kembali lagi menghadap Rasulullah saw. dan memberitahukan beliau bahwa mereka memandang pendapat beliau itu baik dan diizinkan budaknya dikembalikan. Akhirnya budak-budak (tawanan) itu dikembalikan kepada Hawazin.
Rasulullah saw. bertanya kepada utusan- utusan Hawazin sebagaimana riwayat Ibnu Ishaq tentang apa yang diperbuat oleh Malik bin ’Auf. Mereka menjawab, ”Dia berada di Tha’if bersama Tsaqif.” Nabi saw. berkata kepada mereka, "Beritahukan kepadanya, jika dia mau datang menyatakan diri masuk Islam maka kau akan mengembalikan harta dan keluarganya, bahkan akan aku tambah dengan pemberian seratus unta.” Setelah hal ini diberitahukan kepadanya, dia datang menyusul Rasulullah saw. sampai bertemu dengan beliau di sebuah tempat antara Ji’ranah dan Mekah. Kemudian nabi mengembalikan keluarga dan hartanya serta menambahkan seratus unta kepadanya. Lalu dia masuk Islam dan membuktikan keislamannya dengan baik.
Kepada para mualaf penduduk Mekah yang baru masuk Islam Rasulullah saw. memberikan ghanimah dan sejumlah pemberian guna mengikat hati mereka kepada Islam. Tetapi ada sebagian kaum Anshar yang merasa keberatan atas tindakan ini dan menggerutu, ’’Semoga Allah mengampuni Rasul-Nya, dia memberi Quraisy dan membiarkan kita, padahal pedang-pedang kita masih meneteskan darah mereka. ”
Setelah mendengar berita tersebut Rasulullah saw. kemudian memerintahkan agar orang-orang Anshar dikumpulkan di suatu tempat khusus. Setelah mereka berkumpul, Rasulullah berdiri di hadapan mereka menyampaikan khutbah khusus beliau.
”Hai kaum Anshar, aku telah mendengar perkataan kalian! Bukanlah ketika aku datang, kalian masih dalam keadaaan sesat kemudian Allah memberikan hidayah kepada kalian dengan perantaraan aku? Bukankah ketika itu kalian masih saling bermusuhan kemudian Allah mempersatukan kalian dengan perantaraanku? Bukankah ketika itu kalian berkecukupan dengan perantaraan aku?”
Setiap kali Rasullulah saw. bertanya, mereka menjawab, ’’Benar! Allah dan Rasul- Nya lebih pemurah dan utama."
Selanjutnya Nabi saw. bertanya, ”Hai kaum Anshar, kenapa kalian tidak menjawab?”
”Apa yang hendak kami katakan wahai Rasullulah? Dan, bagaimanakah kami harus menjawab? Kemuliaan bagi Allah dan Rasul- Nya," sahut mereka.
Nabi saw. melanjutkan, ’’Demi Allah, jika kalian mau, tentu kalian dapat menjawab yang sebenarnya.”
"Anda datang kepada kami sebagai orang yang didustakan kemudian kami benarkan. Anda datang sebagai orang yang dihinakan kemudian kami bela. Anda datang sebagai orang yang diusir kemudian kami lindungi. Anda datang sebagai orang yang menderita kemudian kami santuni.” Mereka menyahut histeris, "Kemulian itu milik Allah dan Rasul- Nya."
Rasulullah saw. meneruskan, "Hai kaum Anshar, apakah kalian jengkel karena tidak menerima sejumput sampah keduniaan yang tidak ada artinya? Dengan "sampah” itu aku hendak menjinakkan suatu kaum yang baru saja memeluk Islam, sedangkan kalian telah lama berislam. Hai kaum Anshar, apakah kalian tidak puas melihat orang lain pulang membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah? Demi Allah, apa yang kalian bawa pulang itu lebih baik daripada apa yang mereka bawa. Demi Allah yang nyawa Muhammad berada di tangannya, kalau bukan karena hijrah niscaya
aku menjadi salah seorang dari Anshar. Seandainya orang lain berjalan di lereng gunung dan kaum Anshar berjalan di lereng gunung yang lain, aku pasti turut berjalan di lereng gunung yang di tempuh kaum Anshar. Sesungguhnya kalian akan menghadapi diskriminasi sepeninggalku, maka bersabarlah hingga kalian berjumpa denganku di telaga (surga). Ya Allah limpahkanlah rahmatmu kepada kaum Anshar, kepada anak kaum Anshar, dan kepada cucu kaum Anshar.”
/ETIKA aktivis dakwah Ikhwanul Muslimin, Prof. Ali Gharizah dipenjara, ia dimasukkan dalam sel bersama kurang lebih lima orang aktivis lainnya. Sipir penjara yang mengawasi mereka sangat kasar dan tak berperikemanusiaan. Selain bodoh, sipir penjara ini sangat ganjil dalam bersikap. Mudah sekali ia memukul para aktivis yang ada dalam sel dengan menggunakan berbagai alat karena kesalahan kecil atau bahkan tanpa alasan.
Suatu hari Ali Gharizah bersendawa dan membaca hamdalah. Para pemuda yang lain mendoakan. Bagi sang sipir ini adalah keributan kecil yang mengganggu tidurnya. Serta- merta ia menghardik dan memerintahkan agar yang bersendawa segera maju untuk menerima
hukuman. Tangannya sudah siap dengan tongkat pemukul panjang yang keras.
Ali Gharizah maju beberapa langkah. Sel pun dibuka oleh sang sipir dan tangannya siap mengayunkan tongkat. Namun, sebelum Ali Gharizah dipukul, tiba-tiba seorang pemuda maju berjajar dengan Ali Gharizah. Kemudian bertambah satu orang lagi. Akhirnya, keenam orang yang berada dalam sel seluruhnya berdiri di muka.
Sang sipir menjadi bingung. 'Apa-apaan ini?” hardiknya. ’’Sebenarnya siapa yang sesungguhnya bersendawa?” katanya nyaring. "Telingaku tidak tuli. Kudengar hanya satu orang yang bersendawa,” tambahnya. ’’Sekarang kembali!"
Para aktivis kembali ke posisi duduknya semula. ’’Sekarang kuhitung sampai tiga,” kata sang sipir keras. ’’Setelah itu, yang bersendawa segera maju,” katanya. ’’Mengerti?
Satu...dua...tiga,” teriaknya.
. Belum selesai sebutan angka "tiga” dari sang sipir, seluruh pemuda kembali maju, termasuk Ali Gharizah. Makin beranglah sang sipir. "Tuli kalian,” teriaknya keras. ”Apa kalian tidak dengar apa yang aku perintahkan?" hadriknya.
Maka diulanginya lagi perintah itu. Namun, para aktivis kembali maju seluruhnya, sepertinya mereka semua mengaku telah bersendawa. Kali ini habislah kesabaran sang sipir. Diayunkan keras tongkat itu ke arah tembok. Dan secara membabi buta dihantamnya para pemuda dengan tongkat itu sampai ia terengah-engah kelelahan. Dengan kesal dibantingnya pintu sel dan dikuncinya erat. Akhirnya ia pergi dengan sejuta sumpah serapah.
Tentu sang sipir tidak memahami doa bersendawa, sebagaimana tidak dipahaminya sikap itsnr di antara para aktivis Islam. Mana mungkin para pemuda Islam rela membiarkan Ali Gharizah dipukuli tongkat sang sipir bengis, hanya gara-gara berdoa saat bersendawa. Lebih baik mereka maju semua dan siap memikul hukuman itu. Sungguh ini adalah puncak keindahan ukhuwah. Simbol rasa senasib dan sepenanggungan (takajul) dan keterikatan hati (ta'lifid qulub).
Puncak persaudaraan adalah itsar yang wujud karena sepenanggungan.
'—'AAT hijrah, Rasulullah berjalan bersama Abu Bakar mengambil jalan memutar dan tinggal di dalam gua selama beberapa hari untuk mengecoh kafir Quraisy. Siang hari Asma binti Abu Bakar-yang tengah hamil tua-bersusah payah mengantarkan makanan untuk mereka berdua. Sore harinya Abdullah menggembalakan domba di sekitar gua untuk menghilangkan jejak Asma. Mereka melakukan hal itu selama beberapa hari, selama Rasulullah dan ayahnya berada di gua.
Pada suatu saat, karena lelahnya, Rasulullah tertidur di dalam gua. Dengan perasaan khawatir dan cemas, Abu Bakar berjaga untuk melindungi Rasulullah saw., kalau-kalau kafir
Quraisy menemukan mereka. Kepala Rasulullah bersandar ke badan Abu Bakar. Terlihat oleh Abu Bakar seekor ular keluar dari lubang kecil di dekat Rasulullah. Segera kakinya digunakan untuk menutup lubang itu. Ia tutup lubang itu dengan kaki telanjang.
Tapi, tiba-tiba terlihat di lubang yang lain seekor kalajengking beijalan hendak keluar. Karena khawatir binatang tersebut akan menyengat Rasulullah, maka Abu Bakar segera menutup lubang itu dengan kakinya yang lain. Kedua kakinya digunakan untuk menutup dua lubang binatang berbisa itu. Tanpa bergerak sedikit pun- agar tidak membangunkan Rasulullah-ia bertahan.
Ular dan kalajengking menggigit kaki Abu Bakar. Rasa perih yang sangat ditahannya. Abu Bakar tetap tidak bergerak, karena ia tidak ingin Rasul yang dicintainya terbangun dari tidur. Karena tidak tahan, tanpa disadari air
matanya menetes membasahi pipi.
Air mata hangat itu jatuh mengenai Rasulullah, sehingga beliau terbangun. Rasulullah terkejut menyaksikan kondisi sahabatnya. Dan ia sangat terharu ketika mengetahui bahwa Abu Bakar melakukan itu untuk melindungi dirinya. Maka, Rasulullah pun mengobati sahabatnya. Allah mengabadikan kejadian itu dalam Al-Qur'an ketika Rasulullah berkata "la tahzan innallaha ma 'ana".
Sahabat sejati rela mangorbankan dirinya demi yang dicintainya.
Sikap seorang muslim lebih daripada itu kepada Nabi-Nya.
-ADA zaman Nabi Isa a.s., banyak terjadi kerusakan. Hal itu disebabkan karena ulah kaisar Romawi yang memerintah dengan kejam dan sewenang-wenang. Hampir semua pejabat, mulai dari tingkat pusat sampai tingkat desa melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Akibatnya, negeri Palestina menjadi negeri yang melarat. Kemakmuran tidak merata. Rakyat jelata dirugikan. Kekayaan alam di daerah dikeruk dan dibawa ke pusat. Rakyat kecil hanya menjadi penonton dan harus puas menelan ludah.
Bahan makanan sulit didapatkan. Dimana-mana terjadi kelaparan dan berbagai penyakit mewabah. Kondisi yang demikian menimbulkan kejahatan dan tindakan anarkis dari sebagian orang. Perampok dan penodong merajalela. Mereka tidak lagi menghiraukan arti kemanusiaan.
Nabi Isa dan sahabat-sahabatnya melakukan dakwah, tetapi dikejar-kejar oleh pihak istana untuk ditangkap. Pemerintah melarang kegiatan Nabi Isa. Akhirnya, Nabi Isa melakukan amar makruf dengan cara sembunyi-sembunyi.
Sesekali ia mengumpulkan rakyat, membagikan sedikit gandum dan sekerat roti sekadar untuk mengganjal perut mereka.
Keadaan ekonomi rakyat semakin hancur. Kehidupan jadi tak menentu. Para lelaki keluar rumah mencari pekerjaan. Namun akhirnya tak kembali kepada keluarganya. Mereka kelaparan dan mati di tengah jalan.
Suatu ketika, seorang wanita muda berjalan terseok-seok.
Kakinya menahan letih, tetapi terus melangkah. Sudah panjang
jalan yang dilalui hanya untuk mencari sesuap nasi. Demi perut, ia rela menjual ke- hormataannya. Menawarkan dirinya sebagai pemuas nafsu lelaki. Ia menjadi pelacur dengan
tarif yang sangat murah.
Sebenarnya wanita muda itu menyimpan kecantikan. Tetapi wajahnya lebih tua dari umurnya. Maklum, dirinya diterpa panas matahari dan diguyur hujan. Sepanjang waktu, angin yang membawa debu pun menerpanya. Wanita itu mengalami penderitaan hidup yang sangat pahit. Ia sudah tidak mempunyai keluarga, kerabat, dan sanak saudara lagi. Ia juga tak punya rumah untuk berlindung dan berteduh. Hidupnya ada dikolong langit. Banyak orang yang sinis dan menjauhinya. Mereka merasa enggan dan jijik bergaul dengan pelacur. Meskipun mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan, sang pelacur itu tak peduli. Agaknya, penderitaan dan pengalaman telah mengajarinya untuk tidak menghiraukan sikap sinis orang lain.
Pelacur itu berkelana dari suatu tempat ke tempat lain. Setiap lelaki yang dianggap mempunyai uang dihampiri dan dirayunya. Semua itu dilakukan hanya untuk menyambung hidup. Sebenarnya wanita itu menyadari bahwa perbuatannya merupakan dosa besar. Tetapi, keadaanlah yang menjerumuskannya ke lembah hitam.
Wanita itu terus berjalan dengan harapan ada lelaki yang mau diajak kencan dan memberi imbalan sekadarnya. Kakinya telah letih dan lemas. Perutnya melilit karena lapar. Tenggorokannya kering kehausan. Sudah beberapa hari ini perutnya tak terisi apa-apa. Jalanan yang ditapaki cukup sunyi. Tak seorang pun dijumpainya. Hanya angin gurun yang tak henti-hentinya menerpa kulitnya. Entah telah beberapa mil ia berjalan. Akhirnya sampai juga ia di sebuah desa terpencil. Keadaannya sunyi dan gersang. Tak sebatang pohon kurma pun tumbuh di sana.
Ia melempar pandangannya jauh ke depan. Tampak debu berterbangan ditiup angin. Kepalanya mulai terasa berat dan tenggorokannya semakin kering. Ia merasakan haus yang sangat. Tiba-tiba hatinya bersorak karena pandangannya menemukan sebuah bibir sumur, di sana, agak jauh dari tempatnya berdiri. Pelacur itu melangkah kembali menuju sumur tua. Ia berharap di dalam sumur itu ada air yang dapat menyejukkan tenggorokannya. Sumur tua itu ditumbuhi rumput-rumput liar di sekitarnya. Sebagian bibir sumur sudah rusak, lapuk ditelan usia.
Ia menghampirinya dan berhenti di situ. Ditengoknya bibir sumur. Yang tampak hanya kegelapan. Namun, hatinya menjadi girang karena di dalamnya ada tanda-tanda sumber air. Matanya sempat melihat kiluan permukaan air.
Pelacur itu tidak kuat berdiri lama. Tubuhnya gemetar karena menahan lapar dan dahaga. Hari itu, ia benar-benar merasakan penderitaan kelaparan. Ia duduk bersandar pada bibir sumur. Ia mencari akal untuk bisa mengambil air di bawah sumur itu. Tiba-tiba ia tersenyum. Dilepaskan kain ikat pinggangnya (stagen). Dilepas pula sebelah sepatunya. Ujung stagen itu kemudian diikatkan pada sepatu untuk menciduk air di dalam sana.
Meski tubuhnya gemetar, ia berusaha untuk berdiri. Air pun terambil ke dalam sepatunya. Dengan sisa tenaga, ia menarik tali stagennya ke atas. Dilakukannya secara perlahan-lahan agar air di dalam sepatu itu tidak tumpah. Ia berhasil. Sepatu yang berisi se- teguk air itu dipungutnya dengan tangan kiri. Ketika hendak minum, tiba-tiba datanglah seekor anjing. Binatang itu menarik-narik tali stagen. Sang pelacur paham maksud anjing itu. Pasti dia juga menderita haus dan lapar seperti dirinya.
Anjing itu terus menggonggong. Sorot matanya minta dikasihani. Akhirnya, si pelacur mengurungkan niat untuk mereguk air tersebut. Ia menundukkan tubuhnya. Sepatu
kepada binatang itu. Dalam waktu sekejap, air itu habis sama sekali diminum anjing. Sementara itu, si pelacur menahan haus dan lapar. Tubuhnya gemetar dan napasnya tinggal satu-satu. Wanita itu meninggal di tempat itu juga.
Sesaat setelah itu para malaikat dari langit turun ke bumi, menyaksikan jasad pelacur yang sudah terbujur kaku. Malaikat Rakib dan Atid sibuk mencatat amal-amal. Sedangkan Malaikat Malik dan Ridwan saling berebut. Malaikat Malik, si penjaga neraka, hendak membawa ruh pelacur itu ke neraka. Namun Malaikat Ridwan, si penjaga surga, mempertahankannya. Masing-masing mempunyai pendirian. Akhirnya, para malaikat itu mengadukan persoalan tersebut kepada Allah.
"Ya Allah, menurutku sudah sepantasnya wanita ini mendapat siksa di neraka karena sepanjang hidupnya bergelimang dosa. Ia seorang pelacur yang berkutat dengan perzinaan. Ia telah berani melanggar larangan- Mu," kata Malaikat Malik.
"Tidak! Tiba-tiba Malaikat Ridwan menyanggahnya. Malaikat penjaga surga itu mengajukan alasan-alasan kepada Allah, ”Ya Allah, hamba-Mu si pelacur itu memang orang yang berbuat zina. Namun perbuatannya dilakukan karena terpaksa. Demi menyambung hidupnya. Sedangkan ia mati karena akhlakul karimah. Dia rela melepaskan nyawanya demi anjing yang kehausan. Padahal dia sendiri merasa haus sekali. Karena itu, pantaslah jika dia masuk ke dalam surga! ”
Allah berfirman kepada Malaikat Ridwan, "Kau benar. Wanita itu telah menebus dosa-dosanya dengan berkorban demi mahluk-Ku yang lain. Masukanlah ia ke dalam surga!"
Pengorbanan dapat menghapus dosa yang tak bisa dihapus oleh amal lainnya.
HMAD bin Aiman bertamu ke rumah Muslim bin Umran, saudagar terkenal di
Menyaksikan putra Muslim, Ahmad bin Aiman sangat terpesona. Bagaimana tidak. Kedua anak itu sungguh sopan dan tingkah lakunya seperti anak-anak sultan. Mereka berbicara dengan menggunakan bahasa yang indah, seperti penyair. Bukan hanya itu, wajah kedua anak itu putih, bersih, dan bersinar. Sungguh elok menawan hati, seperti matahari dan bunga. Rambutnya hitam mengkilat. Pakaian yang serasi membuat setiap mata terpesona dan orang berdecak kagum. Siapa pun akan menduga, pastilah ibunya adalah keturunan raja yang sangat cantik, cerdas, dan halus budi. Ahmad tercenung dan kagum. Terucap dari mulut Ahmad bin Aiman, "Anak yang sangat menawan. Pastilah ibunya seperti bidadari dari kayangan.”
Muslim bin Umran diam mendengar pujian Ahmad. Beberapa saat kemudian, dia menceritakan sesuatu yang mencengangkan tamunya. "Aku akan menceritakan bagaimana dengan ibunya,” kata Muslim.
’’Pada suatu hari," cerita Muslim. "Aku mendengar nasihat dari Abu Abdullah al-Balakhi yang mengutip hadits Rasulullah saw.: ’Wanita yang hitam lebih baik daripada wanita cantik yang mandul. Sungguh nasihat yang sangat menyentuh hatiku.’
Al-Balakhi menjelaskan panjang lebar makna hitam dan mandul dalam hadits itu, sehingga sangat gamblang dalam benakku. Muncul tekadku untuk membuktikan itu dalam kehidupan. Mungkin, wanita yang tidak menarik secara fisik akan lebih baik daripada wanita cantik yang tak berakal dan tak berbudi. Apalagi tidak dapat melahirkan anak-anak yang saleh dan aku
merasa sudah tidak pantas lagi membujang.”
"Sampailah pada suatu hari," lanjut Muslim. ”Aku tertarik pada seorang paman yang selalu menolak lamaran para pejabat Bashrah untuk anaknya. Aku pikir tentulah anaknya itu sangat istimewa. Maka hatiku pun tergerak untuk ikut melamar. Aku datang ke rumahnya dan mengutarakan maksudku. Jawaban paman itu mengejutkanku. Katanya pernikahan itu adalah perbudakan bagi anaknya dan langsung menolak lamaranku. Aku kaget. ”
"Meski demikian, aku tetap memaksa," kata Muslim meneruskan ceritanya. "Aku bilang bahwa pernikahan bukanlah perbudakan dan aku berjanji untuk itu, walau aku belum pernah melihat calon istriku. Mendengar jawabanku paman itu terkejut sebentar. Lalu menanyakan sekali lagi ke- sungguhanku. Aku pun mengiyakannya."
"Akhirnya paman itu memintaku datang bersama para pengiring besok. Ia akan menikahkanku dengan anaknya. Aku terkejut dan bersorak gembira,” cerita Muslim. Ahmad bin Aiman terdiam mendengarkan, "Lalu... lalu bagaimana? Tentu calon istrimu itu cantik luar biasa?” tanyanya.
"Sabar... sabar, biar aku menyelesaikan ceritaku,” jawab Muslim singkat. "Maka pernikahan pun dilaksanakan. Setelah akad nikah dan jamuan selesai, aku masuk ke kamar istriku. Para pengasuh pun datang mengerumuniku dan mendoakan. Ketika tirai terbuka, aku terkejut. Ternyata istriku tidak termasuk wanita yang cantik. Aku tertegun dan yang muncul dibenakku hanyalah nasihat Syekh al-Balakhi. Mungkin inilah kebenaran hadits itu.”
Muslim melanjutkan ceritanya. "Istriku langsung mendekatiku dan berkata, ’Inilah aku rahasia yang dipegang rapat ayahku. Kalau kecantikan yang engkau tuju, sungguh berat apa yang engkau rasakan saat ini. Aku memiliki harta. Bolehlah engkau menikahi lagi wanita lain yang cantik dengan harta itu. Namun, aku akan mengabdi kepada engkau sebagai istri yang baik. Pintaku hanya satu, janganlah kau bocorkan rahasia ini.’”
"Namun hatiku sudah tenang,” lanjut Muslim. "Nasihat Al-Balakhi sudah mantap di hatiku. Maka jawabanku pun mantap kepada istriku. Maka kataku, ’Wahai istriku, aku datang bukan untuk kecantikanmu, namun aku datang karena satu hadits Rasulullah saw., yakni wanita yang hitam lebih baik daripada wanita cantik yang mandul. Dan, aku yakin dengan sabda Nabi ini.’” "Sejak itu, maka tetesan kebahagiaan pun mengalir dalam keluargaku. Istriku pun semakin hari semakin ceria dan segar. Semakin lama, semakin terasa kecantikan akal dan hatinya. Lalu anak-anakku pun lahir dan dibesarkan dengan budi pekertinya, sampai hari ini,” tutup cerita Muslim. Ahmad bin Aiman tunduk dan menengadahkan tangan berdoa serta berkata, "Sungguh benarlah Rasul. Sungguh Rasulullah selalu benar.” Wanita yang "hitam” lebih baik daripada wanita cantik tetapi "mandul” baik fisik, akal, maupun hatinya.
^UATU ketika khalifah Umar melakukan piket keliling malam untuk menyelidiki rakyatnya. Ia berjalan sampai ke suatu tenda yang berjarak tiga mil dari kota Madinah. Saat ia mendekati tenda itu, ia melihat seorang wanita bersama anak-anaknya yang masih kecil menangis di sekelilingnya. Umar menanyakan keadaan anak itu. Wanita itu menjawab, "Kami
di timpa oleh hawa dingin dan kegelapan malam." Umar bertanya, "Lalu mengapa mereka menangis?" Wanita itu menjawab, "Mereka menangis karena lapar.” Umar bertanya lagi, "Apa yang ada dalam periuk itu?" Wanita itu menjawab, "Air. Sengaja aku memasak air untuk membuat mereka diam dan tertidur."
Kemudian wanita itu berkata, "Allah menjadikan kami saksi atas Umar.” Wanita itu tidak menyadari bahwa lelaki yang ia ajak berbicara adalah Umar. Umar menukas, "Semoga Allah memberi rahmat kepadamu. Umar tidak mengetahui keadaan kalian.” Wanita itu membalas, "Subhanallah, dia yang diamanahi mengurus kepentingan kami, malah melalaikan nasib kami.” Umar bergegas pergi ke Baitul Mal dan kembali ke tenda itu. Ia memanggul makanan di atas pundaknya. Memikul karung-karung berisi gandum dan minyak. Semua itu dilakukan sendiri oleh Umar. Ia tidak meminta bantuan orang lain. Umar berprinsip bahwa orang lain tidak akan menanggung dosanya pada hari kiamat nanti.
Segera Umar memasak bahan makanan yang ia bawa untuk anak-anak wanita itu. Wanita itu terheran-heran dengan apa yang dilakukan oleh Umar. Wanita itu berkata, "Semoga Allah membalas kebaikanmu. Demi Allah, engkau lebih pantas menjadi pemimpin kami daripada Umar.” Jiwa datang ke hadapan Allah secara sendiri-sendiri, tak ada manusia yang memikul dosa manusia lainnya.
ASULULLAH bercerita, ”Ada seorang raja dari umat sebelum kalian. Ia memiliki seorang ahli sihir. Di saat ahli sihir itu menginjak usia lanjut, ia meminta dikirimkan seorang pemuda untuk diajari ilmu sihir. Maka sang raja mengirimkan seorang pemuda kepadanya.
Saat si pemuda dalam perjalanan menuju tempat ahli sihir, ia bertemu seorang rahib (pendeta). Si pemuda duduk mendengarkan wejangannya. Ia pun tertarik dengan rahib tersebut. Setiap kali si pemuda hendak menuju ke tempat ahli sihir, ia mampir terlebih dahulu ke tempat si rahib dan mendengarkan wejangannya. Kemudian, bila ia sampai di tempat ahli sihir, si ahli sihir memukulinya. Si pemuda mengadukan hal itu kepada si rahib dan si rahib menasihatinya, ’Bila kamu takut kepada ahli sihir itu, katakan kepadanya, 'Keluargaku telah menahanku (hingga aku terlambat datang) dan bila kamu takut kepada keluargamu, katakan pada mereka, si ahli sihir telah menahanmu (hingga aku terlambat pulang).’
Suatu ketika, dalam perjalanan, si pemuda melihat seekor binatang raksasa menghalangi jalan umum. Ia bergumam, 'Hari ini aku ingin mengetahui manakah yang lebih hebat, apakah si ahli sihir atau si rahib.’
Kemudian ia mengambil sebuah batu dan berkata, ’Ya Allah, jika ajaran si rahib lebih Engkau cintai daripada ajaran si tukang sihir, maka bunuhlah binatang ini, sehingga orang- orang dapat melanjutkan perjalanan.’
Lalu pemuda itu melempar binatang tersebut dengan batu dan ia berhasil membunuhnya. Orang-orang pun bisa melanjutkan perjalanan mereka.
Setelah itu, ia pergi menemui rahib dan menceritakan kepadanya apa yang baru ia lakukan. Si rahib berkata kepadanya, 'Wahai anakku, hari ini kamu lebih hebat daripada aku. Sungguh, yang terjadi padamu merupakan bukti bagiku tentang apa yang aku pikirkan. Dan, sungguh, engkau akan diuji dengan berbagai cobaan. Jika engkau diuji, janganlah
kau perlihatkan atau ceritakan kepadaku.’
Konon si pemuda mempunyai kemam.- puan menyembuhkan orang buta, penderita kusta, dan berbagai penyakit lainnya. Seorang teman bicara raja, yang sudah mengalami kebutaan, mendengar kabar tentang si pemuda. Ia pun datang membawa bermacam-macam hadiah. Ia merayu si pemuda, 'Semua (hadiah) yang ada disini untukmu, jika engkau mampu menyem- buhkanku.’ Si pemuda menjawab ’Sebenarnya aku tidak mampu meyembuhkan seorang pun, tetapi Aliahlah yang menyembuhkannya. Jika engkau mau beriman kepada Allah swt., aku akan mendoakanmu kepada Allah dan Allah akan menyembuhkanmu.’ Maka teman duduk raja itu beriman kepada Allah dan Allah pun menyembuhkan penyakitnya (kebutaannya).
Setelah itu, ia pergi menemui sang raja dan menemaninya duduk-duduk seperti yang biasa ia lakukan dahulu. Sang raja bertanya kepadanya, ’Siapakah yang telah mengembalikan penglihatanmu?’ Teman bicara raja menjawab, 'Tuhanku.' Sang raja lanjut bertanya, ’Apakah kamu mempunyai tuhan selain aku?’ Ia menjawab, 'Tuhanku dan tuhanmu adalah Allah.’ Maka sang raja menahannya dan menyiksanya hingga teman bicaranya itu menunjukkan bahwa yang menyembuhkannya adalah si pemuda.
Kemudian si pemuda dihadapkan kepada sang raja. Sang raja berkata kepadanya, 'Wahai anakku, kemampuan sihirmu mampu menyembuhkan orang buta, penderita kusta, dan kamu juga mampu menyembuhkan penyakit ini dan itu.’ Si pemuda menjawab, 'Aku tidak menyembuhkan seorang pun, tetapi Aliahlah yang telah menyembuhkan.’ Maka Sang raja menahannya dan menyiksanya hingga akhirnya ia menunjukkan bahwa yang mengajarinya adalah si rahib.
Kemudian si rahib dihadapkan kepada sang raja dan menerima omelannya. ’Kembali (keluar)lah dari agamamu!’ Tetapi si rahib menolak. Sang raja meminta gergaji dan meletakkan gergaji itu di tengah-tengah kepala si rahib. Lalu ia membelah kepala si rahib itu hingga kedua belahan kepalanya jatuh di atas tanah. Ganti teman bicara raja dihadapkan kepadanya. Sang raja kembali memaksa, 'Keluarlah dari agamamu!’ Tetapi ia pun menolak. Sang raja meletakkan gergaji itu di tengah-tengah kepala teman duduknya. Lalu membelah kepala orang itu hingga kedua belahan kepalanya jatuh di atas tanah.
Setelah itu, si pemuda dihadapkan kepada raja dan lagi-lagi sang raja memaksa, 'Keluarlah dari agamamu!’ Namun, si pemuda menolak sampai sang raja menyerahkan si pemuda kepada beberapa orang sahabatnya. Ia berpesan kepada mereka, 'Bawalah dia ke bukit anu dan anu. Panjatlah tebingnya. Bila kalian telah sampai ke puncak, lemparkanlah pemuda ini, kecuali kalau dia mau keluar dari agamanya.’ Ketika mereka sampai di tebing, si pemuda berdoa, ’Ya Allah, lindungilah hamba dari mereka dengan cara apa saja yang Engkau kehendaki. ’ Seketika bukit itu berguncang sehingga orang- orang yang membawa si pemuda tergelincir dari atas bukit. Kemudian si pemuda datang menemui raja. Sang raja berkata kepadanya, 'Apa yang telah diperbuat orang-orang yang membawamu?’ Si pemuda menjawab, ’Allah telah melindungiku dari mereka.’
Melihat si pemuda masih hidup dan tidak keluar dari agamanya, sang raja menyerahkannya kepada sahabatnya yang lain. Raja memberikan pengarahan, 'Taruh dia dalam perahu dan bawalah ke tengah laut. Kemudian lemparkanlah pemuda ini, kecuali kalau dia mau keluar dari agamanya.’ Para pesuruh raja segera pergi membawanya. Si pemuda kembali berdoa, ’Ya Allah, lindungi hamba dengan cara apa saja yang Engkau
kehendaki.’ Perahu yang mereka tumpangi, seketika, terbalik dan mereka pun hanyut di laut. Si pemuda selamat.
Dia kembali menemui raja. Sang raja berkata kepadanya, 'Apa yang telah diperbuat oleh orang-orang yang membawamu?' Si pemuda menjawab, ’Allah telah melindungi- ku dari mereka. Engkau tidak akan mampu membunuhku hingga engkau melakukan apa yang aku perintahkan padamu.’ Sang raja bertanya, 'Apa itu?' Si pemuda menjelaskan, ’Kumpulkanlah orang-orang di satu tempat lapang dan saliblah aku di atas pelepah kurma. Kemudian ambillah sebilah anak panah dari kinanah (tabung tempat penyimpanan anak panah) milikku. Letakkan anak panah itu di tali busur dan katakanlah, "Dengan menyebut asma Allah, Tuhan si pemuda ini". Kemudian lepaskan anak panah itu ke arahku. Jika engkau melakukan semua itu, engkau pasti mampu membunuhku.’
Raja mengumpulkan orang-orang di satu tempat lapang dan menyalib si pemuda di atas pelepah kurma.
Selanjutnya, sang raja mengambil sebilah anak panah dari kinanah-nya dan meletakkan anak panah itu pada tali busur. Sebelum melepaskan anak busur, raja berkata, Dengan menyebut asma Allah, Tuhan si pemuda ini. Kemudian ia melepaskan anak panah ke arah si pemuda. Tepat mengenai pelipisnya. Si pemuda meletakkan tangan di atas pelipisnya dan seketika itu, ia meninggal.
Orang-orang yang menyaksikan berseru, 'Kami beriman kepada Tuhan si pemuda.’ Sang raja mendatangi mereka dan mereka pun mencoba mengingatkannya, ’Tidakkah engkau ingat semua yang dulu pernah kau katakan. Demi Allah, kata-kata pemuda itu terbukti, semua orang kini beriman kepada Allah.’
Mendengar hal itu, raja memerintahkan supaya menggali lubang-lubang memanjang (al-ukhdud). Setelah lubang-lubang itu digali dan bagian permukaannya dibuat seperti pintu, raja menyuruh agar api dinyalakan. Raja itu berkata kepada orang-orang yang beriman, 'Barangsiapa yang tidak mau kembali (keluar) dari agamanya, maka lompatlah ia ke dalam api.’ Maka orang-orang pun melakukan perintah raja, terjun ke dalam api. Hingga datang seorang wanita yang menggendong anaknya. Wanita itu mundur karena takut terjatuh. Si anak itu berkata, ’Wahai ibu, bersabarlah! Sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran.”' (HR Muslim)
Kemenangan subtansial tidak harus diikuti kemenangan fisik.
Meski seluruh pengikut al-haq dikalahkan, kebenaran tetap menandai keanggung- annya.
^UATU hari yang panas, seekor serigala merasa sangat haus. Dilihatnya pohon anggur dengan buah yang sangat lebat dan berwarna hijau kecoklat-coklatan, menandakan anggur yang matang dan manis untuk dimakan. Air liurnya menetes.
Segera dia meloncat, mencoba memetik buah anggur dengan kedua ’’tangannya”, namun ia gagal. Dicobanya lagi, tetap tak berhasil.
Berkali-kali dilakukannya dengan sekuat tenaga. Dicoba lagi dengan cara yang lain. Tetap saja, tak satu pun buah anggur tercapai "tangannya”. Sang serigala menyerah.
Serigala menatap ke atas, tepat ke arah buah anggur yang masak dan lebat. Kembali air liurnya menetes.
Segera air liur itu disekanya. Ia pandang lagi buah anggur itu. Kali ini ia membatin, "Ah, anggur itu asam dan tidak baik untukku,” katanya dan sang serigala segera pergi.
Kalau satu tali putus, maka yakinkah ada satu tali lainnya. Yang kita inginkan belum tentu baik, apalagi kalau kita tak dapat mencapainya.
^EORANG pastur paroki (daerah) bersikeras dengan kebiasaannya membuat nota untuk menyampaikan pesan kepada para stafnya. Seorang tukang sapu tidak tahu isi pesan tertulis itu. Karenanya, ia kehilangan pekerjaan.
Walaupun tidak dapat membaca dan menulis, tukang sapu itu sangat cerdas. Ia memulai usaha dan berhasil menjadi sangat kaya. Suatu hari, seorang direktur bank yang telah menjadi mitra usahanya heran ketika mengetahui ia buta huruf. Bankir itu berkata, ”Ya ampun, bayangkan di mana engkau berada sekarang ini, jika engkau dapat membaca dan menulis.’’
Orang yang berhasil itu tersenyum lebar dan berkata, ”Ya, saya menjadi seorang tukang sapu di paroki itu.”
Kegagalan di satu tempat adalah pintu keberhasilan di tempat lain.
Kisah ’’Post-it Notes”
DA sebuah kisah menarik tentang mengubah kegagalan menjadi keberhasilan dengan memanfaatkan kesempatan jika kesempatan itu datang. Kisah yang dimaksud terjadi di perusahaan 3M. Perusahaan itu mendorong kreativitas para pekerjanya. Memberikan peluang bagi para penelitinya untuk menggunakan 15% dari waktu mereka pada proyek tertentu yang menarik minat mereka. Kebijakan ini membawa manfaat yang fantastis bukan hanya bagi para pekerja, tetapi juga untuk perusahaan. Banyak sekali cetusan ide yang menghasilkan produk-produk yang laris di pasaran. Dengannya, peningkatan keuntungan perusahaan 3M sangat mengagumkan.
Sebagaimana diceritakan, seorang ilmuwan di perusahaan 3M yang memanfaatkan waktu untuk berpikir kreatif adalah Art Fry. Pikiran kreatif itu muncul ketika potongan-potongan kertas penanda halaman bukunya, terus-menerus jatuh berserakan ke lantai.
Suatu hari, Fry mendapat inspirasi. Dia teringat akan suatu perekat yang dikembangkan oleh Spencer Silver- koleganya-yang dianggap gagal oleh banyak orang karena perekat ciptaannya tidak dapat melekat dengan baik. Fry mengingat, "Saya mengoles perekat itu pada kertas dan melihat bahwa kertas itu bukan hanya menjadi penunjuk halaman yang baik, tetapi juga untuk mencatat sesuatu di atasnya.”
Dia melanjutkan, ’’Kertas itu akan tetap di tempatnya selama engkau suka dan engkau dapat membuangnya tanpa harus merusakkan kertas buku yang kau tandai. Kemudian ia dapat direkatkan kembali pada halaman yang lain, berkali-kali. ”
Art Fry memenangkan hadiah besar. Hasil produknya disebut Post-it Notes dan menjadi produk 3M yang sangat laku
di pasaran. Apa yang pernah dianggap sebagai kegagalan oleh banyak orang dapat menjadi kesuksesan dengan pemikiran yang kreatif dan pemanfaatan kesempatan yang baru.
Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda.
Masih Ada Tali=Masih Ada Harapan
/DA sebuah kisah tentang pengebor minyak yang mulai menggali sumur baru di atas tanahnya. Setelah mengebor satu lubang yang dalam, ia tidak mendapatkan minyak. Ia melaporkan hal itu ke pimpinannya. Dengan laporan itu, sang pemilik pun memutuskan bahwa di lubang itu tidak terdapat minyak dan meminta agar seluruh staf bersiap-siap untuk segera meninggalkan ladang minyak.
Meski demikian, pimpinan pengeboran masih penasaran dan menanyakan kepada staf pengeboran berapa panjang ’’tali” (pipa minyak) yang masih tertinggal di kapal pengeboran. "Masih dua atau tiga meter lagi,” jawab si pengebor. ’’Tancapkan bor lebih dalam lagi,” teriak pimpinan penggalian. Sesudah mengebor sekitar satu meter, ternyata sumur menyemburkan minyak yang sangat banyak dan menjadi sumur yang paling produktif di ladang minyak itu.
Jika masih ada tali, maka masih ada ruang untuk menggantungkan harapan.
Petani Texas
• ADA tahun 1904, seorang petani Texas mengalami kegagalan panen. Tanah pertaniannya mengalami kekeringan yang panjang. Tanaman-tanaman pun menjadi kering dan ternaknya terserang penyakit. Dalam keputusasaannya, dia membuat perjanjian dengan sebuah perusahaan minyak raksasa yang percaya bahwa ada ladang minyak di tanah pertaniannya. Pertemuannya dengan para pejabat perusahaan minyak itu menghasilkan kesepakatan bahwa akan dirancang dan dioperasikan pengeboran minyak. Jika berhasil didapati minyak, ia akan menerima bagian yang sangat besar dari hasil penjualan.
Petani Texas itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Dia telah berusaha dengan keras untuk memperoleh kehidupan dari tanahnya yang kering. Dia sangat terkejut dan gembira ketika mendengar bahwa tanahnya memiliki kandungan minyak yang sangat tinggi. Minyak
itu berhasil didapati dari ladangnya hanya dalam hitungan waktu beberapa bulan.
Sebelumnya, dia dan keluarganya setengah mati mengolah tanah pertanian itu. Mereka tidak mengetahui kalau kandungan minyak yang ada di tanah pertanian tersebut sangat tinggi. Mereka tidak mengetahui potensi kekayaan yang ada di dekatnya.
Potensi biasanya terpendam di sekeliling kita. Menunggu ditemukan dan diberdayakan pada saat yang sulit.
'HARLES Schulz tidak lulus seluruh mata pelajarannya di tingkat delapan. Ia memperoleh nilai nol untuk fisika dan bahasa Inggris. Buruk di olahraga dan kalah bertanding di musim kompetisi. Di sekolah, tidak ada seorang pun yang peduli padanya. Ia akan terheran- heran bila ada teman sekelasnya yang menyapanya sepulang sekolah.
Karena takut ditolak, ia tidak pernah memiliki teman dekat. Schulz tahu, ia seorang pecundang. Teman-teman sekelasnya tahu itu. Setiap orang mengetahuinya. Ia pun pasrah. Ia memilih untuk menjadi apa yang ditakdirkan untuknya.
Bagaimanapun juga, ia bangga terhadap satu karya seninya! Tidak seorang pun yang menghargai karya itu. Di akhir-akhir masanya di SMU, ia berhasil membuat kartun. Namun, kartun-kartun karyanya ditolak oleh penerbit-penerbit besar. Meski ditolak, ia tetap memutuskan untuk menjadi seorang kartunis profesional.
Setelah menyelesaikan SMU,
Schulz melamar ke Studio Walt Disney. Ia diberikan satu subyek untuk suatu kartun dan diminta untuk mengirimkan contoh beberapa karyanya. Walau telah mengerahkan waktu yang banyak untuk gambar-gambar itu, kartunnya tetap ditolak!
Akhirnya, ia memutuskan untuk menulis biografinya sendiri dalam bentuk kartun seorang anak laki-laki yang gagal dan tidak pernah maju. Tokoh kartun itu adalah Charlie Brown, si anak laki-laki yang tidak pernah berhasil menaikkan layang-layang- nya dan tidak pernah berhasil menendang dalam olahraga rugbi. Komik strip ciptaannya yang terkenal sedunia adalah Peanuts dan Si Gagal. Itu adalah Charles Schulz.
Ketika Charles Schulz meninggal, karyanya bernilai
ratusan juta dolar dan seluruh dunia ber- Kegagalan yang mendalam adalah
kabung atas berakhirnya komik strip Peanuts. kesuksesan itu sendiri.
'TEPHEN King dilahirkan pada tanggal 21 September 1947 di Portland, Maine. Ayahnya meninggal ketika ia berusia tiga tahun. King dan kakaknya dibesarkan oleh ibunya yang bekerja di restoran untuk menghidupi mereka.
Di usia tujuh tahun, King telah menulis cerita pendek pertamanya. Ia telah menjadi penggemar film horor di masa remaja. Selama di sekolah menengah, ia tidak begitu istimewa. Ia bukan orang terpandai atau terbodoh di kelasnya.
Di tahun pertamanya di universitas, ia berhasil menyelesaikan novel pertamanya. Ia menyerahkannya kepada penerbit, tetapi ditolak. Penerbit menolak novelnya dengan reaksi yang buruk, yakni membuang buku itu.
Di lain waktu, ia berhasil menjual ceritanya yang lain hanya dengan harga US$35.
Di bulan Juni 1970, King lulus dari Universitas Maine dengan gelar sarjana muda sastra Inggris dan ijazah untuk mengajar di sekolah menengah. Karena tidak berhasil menjadi guru, ia menerima pekerjaan tidak tetap sebagai buruh di sebuah industri pakaian.
Bahkan, ia pun mau bekerja sebagai penjaga pom bensin untuk upah sebesar US$ 1.25 per jam.
Di bulan Januari 1971, ia menikah. King memenuhi kebutuhan hidupnya dengan uang hasil penjualan cerita pendeknya ke majalah pria dan uang simpanannya. Bahkan, di satu waktu, ia harus memakai uang pinjaman dari siswa istrinya.
Di musim gugur tahun 1971, ia berhasil mendapatkan pekerjaan
sebagai guru di Akademi Hampden dengan pendapatan US$6,400 per tahun. Ia menulis cerita pendek di malam hari dan diakhir minggu. Ia terus menulis cerita pendek dan novel untuk menaikkan pendapatannya. Kebanyakan dari hasil karyanya ditolak.
Suatu hari, ia mulai menulis sebuah cerita tentang gadis remaja bernama Carietta White. Setelah menyelesaikan beberapa halaman dan mengingat banyaknya penolakan yang telah ia alami, ia berpendapat bahwa cerita ini tidak bagus. Ia remas kertas itu dan dilemparnya ke tempat sampah. Istrinya mengambil kertas-kertas itu, membacanya dan mendorong dia untuk menyelesaikannya. Akhirnya, novel itu selesai di bulan Januari 1973. "
Novel itu sangat menarik bagi para penerbit. Akhirnya, hak untuk menerbitkan novel yang berjudul Carrie itu diperoleh New American Library seharga US$400,000,00 pada tanggal 12 Mei 1973. Dengan pendapatan sebesar itu, Stephen King memutuskan akan mengoptimalkan waktunya untuk menulis novel dan berhenti mengajar. Sekarang, Stephen King adalah pengarang buku paling sukses. Bukunya telah diterjemahkan ke dalam 33 bahasa, diterbitkan di 35 negara, dan telah dicetak lebih dari seratus juta buku.
Pada satu waktu, kelima bukunya pernah masuk dalam daftar "New York Times Best Sellers”. Menurut majalah Forbes, ia adalah pengarang terkaya di dunia. Di tahun 1996 saja, pendapatannya sebesar US$84 juta. Banyak hasil karyanya yang telah difilmkan ke layar lebar, antara lain: Carrie, The Dead Zone, The Shining, Christine, Salem's Lot, Firestarter, Cujo, Misery, The Shawshank Redemtion, dan The Green Mile.
Sebagai raja literatur dan film horor yang tidak diragukan lagi, Stephen King terus menakut-nakuti dunia dengan karyanya. Pertanyaannya adalah apakah yang terjadi pada Stephen King, jika istrinya tidak memungut robekan kertas novelnya dari tempat sampah?
Terakhir kalinya Anda mencoba adalah pertama kalinya Anda gagal.
P
V_yKSPANSI teritorial terbesar setelah ekspansi yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab adalah ekspansi Dinasti Umayyah. Meski memerintah dalam periode yang relatif singkat, bani Umayyah mempersembahkan kepada kaum muslimin wilayah kekuasaan yang luas. Mulai dari Persia sampai ke Mesir di barat dan Tunisia hingga Maroko. Bahkan, menyeberang ke daratan Eropa Barat di wilayah Spanyol. Ekspansi ini pun sampai pada titik terjauhnya di Tours, perbatasan Prancis.
Pada tahun 711, kaum muslimin menyeberangi selat Gibraltar (Jabal al-Tharic])-yang diambil dari nama Jenderal Besar Islam Thariq bin Jiyad-dan menundukkan orang- orang Spanyol Visigoth di bawah pimpinan Thariq bin Jiyad. Kegemilangan demi kegemilangan telah diperoleh tentara bani Umayyah mulai dari wilayah Persia sampai ke ujung benua Afrika.
Konon ketika tentara muslim sampai di ujung Afrika, kelelahan yang sangat membuat mereka ingin beristirahat dan bermalas-malasan untuk mengatur napas sejenak.
Setelah kegemilangan panjang, ingin rasanya mereka berleha-leha di pantai Afrika yang indah itu.
Namun, tiba-tiba peluit panjang tanda pelayaran ke seberang benua telah berbunyi. Semua tentara sibuk menyiapkan diri dan masuk ke dalam kapal. Jangkar pun telah diangkat. Suara riuh-rendah pun
mengiringi angin yang mengibarkan panji-panji peperangan. Sejurus kemudian, mereka telah asyik dengan pemandangan selat antara Afrika dan Eropa.
Setelah berlayar beberapa minggu, akhirnya mereka sampai di ujung benua lain-medan peperangan baru. Di depan mereka terlihat dataran hijau yang asing. Sementara itu, di belakang mereka adalah lautan. Di seberang lautan sanalah tanah air mereka, tempat rindu ditautkan.
Keterasingan di tempat baru dan kerinduan kampung halaman bertemu di simpul kapal- kapal perang. Akibatnya, timbullah keragu- raguan.
Sebagian besar tentara muslim, diliputi keraguan untuk meneruskan perjuangan di negeri asing Spanyol. Thariq bin Jiyad memahami ini. Lalu ditumpahkannya minyak- minyak di atas kapal-kapal mereka. Api di- nyalakannya. Dalam waktu singkat, api berkobar menghanguskan seluruh kapal perang muslim. Semua diam tertegun. Tidak menyangka akan terjadi seperti itu. Mereka semuanya bertanya-tanya dan tampak ketidakpuasan tergurat di wajah.
Jenderal Thariq menjawab dengan senyum, "Kapal telah kita bakar. Tak ada jalan lagi untuk kembali pulang," katanya.
"Pilihan kita hanya satu, ke depan dan terus maju. Tak ada kata mundur,” tambahnya. Para prajurit tertunduk lesu, tak ada harapan pulang, namun mereka pun tidak ingin mati sia-sia. Hanya ada satu pilihan, yakni memperoleh kemenangan dengan maju menerjang. Sejarah mencatat, mereka berhasil menundukkan bangsa Visigoth Spanyol dan terus bergerak maju sampai ke perbatasan Prancis di Tours. Inilah jalur masuk Islam di Eropa Barat. Meski Dinasti Umayyah diganti oleh Dinasti Abbassiyah, kerajaan Andalusia tetap dipimpin oleh raja-raja kecil keturunan bani Umayyah.
Kalau ingin maju ke depan, jangan sekali-kali memandang pantai.
/DA sebuah kisah tentang seorang Eskimo Greenland yang diikutsertakan dalam salah satu ekspedisi Amerika ke kutub. Sebagai imbalan atas bantuannya, dia dibawa ke kota New York untuk sebuah kunjungan singkat. Dia sangat kagum dengan semua keajaiban yang dilihat dan didengarnya. Ketika dia kembali ke desa asalnya, dia menceritakan tentang gedung- gedung yang menjulang tinggi ke angkasa dan mobil-mobil dijalan yang di lukiskannya sebagai rumah-rumah yang bergerak di atas rel dengan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Dia berbicara tentang jembatan-jembatan yang besar, lampu yang gemerlapan, dan segala gemerlap kota New York lainnya.
Orang-orang memandangnya dengan dingin, lalu pergi meninggalkannya.Di seluruh desa dia dijuluki ’’pembohong”. Julukan ini ia bawa dengan rasa malu hingga ke liang kubur. Jauh sebelum kematiannya, nama aslinya sudah terlupakan sama sekali di seluruh desa itu.
Ketika Knud Rasmusen mengadakan perjalanan dari Greenland ke Alaska, dia ditemani oleh seorang Eskimo bernama Mitek dari desa yang sama. Mitek mengunjungi Copenhagen dan New York, di mana ia melihat banyak hal yang baru sama sekali dan benar- benar terkesan. Kemudian sekembalinya ke Greenland, ia teringat akan kisah tragis tentang si "pembohong" dan memutuskan untuk tidak menceritakan kebenaran itu.
Sebaliknya, ia menceritakan hal-hal yang dapat dimengerti oleh masyarakatnya sehingga menyelamatkan reputasinya.
Dia menceritakan kepada mereka bagaimana dia dan Dr. Rasmusen tetap berusaha di atas perahu di pinggiran sungai besar Hudson dan bagaimana setiap pagi mereka keluar berburu itik, bebek, dan anjing laut yang amat banyak di sana.
Kisah-Kisah Teladan untuk Keluarga: Pengasah Kecerdasan Spiritual
AHB bin Munabbah bercerita, suatu ketika Isa a.s. pergi mengembara di atas bumi ditemani oleh seorang Yahudi. Nabi Isa membawa bekal sepotong roti dan si Yahudi membawa dua potong roti. Maka Isa berkata kepada si Yahudi, ’’Bolehkah aku ikut makan rotimu?" Si Yahudi menjawab, 'Tentu.” Tatkala si Yahudi mengetahui bahwa Isa a.s. hanya membawa satu potong roti, ia menyesal telah mengiyakannya. Maka, pada saat Isa menunaikan shalat, ia pergi dan memakan sepotong roti miliknya. Selesai shalat, kedua orang itu mengeluarkan bekal makanannya. Nabi Isa kemudian bertanya kepada temannya,
”Di mana sepotong rotimu yang lain?" Si Yahudi menjawab, ’’Ternyata aku hanya membawa sepotong roti saja.” Maka kedua orang itu makan rotinya masing- masing.
Kemudian kedua orang itu melanjutkan perjalanannya. Ketika mereka sampai di dekat sebatang pohon, Nabi Isa berkata kepada temannya, "Wahai kawanku, sebaiknya kita bermalam di bawah pohon ini sampai pagi menjelang.” Si Yahudi menjawab, "Baiklah.” Maka kedua orang itu bermalam di bawah pohon itu hingga pagi datang. Lalu mereka pun melanjutkan perjalanan.
Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang buta. Isa berkata kepadanya, "Seandainya aku mengobatimu dan Allah mengembalikan penglihatanmu kembali, apakah engkau mau bersyukur kepada-Nya?” Orang buta itu menjawab, "Tentu.” Maka Isa mengusap kedua matanya sambil membaca doa. Orang buta itu pun dapat melihat kembali. Kemudian
Isa berkata kepada si Yahudi, ’’Demi Zat yang telah mengembalikan penglihatannya, di manakah rotimu yang lain?" Si Yahudi menjawab, ’’Demi Allah, aku tidak membawa, kecuali hanya sepotong roti.” Nabi Isa terdiam mendengar jawabannya.
Kemudian keduanya melewati beberapa ekor kijang yang sedang merumput. Isa menangkap seekor kijang dan menyembelihnya. Lalu mereka berdua makan daging kijang tersebut. Kemudian Isa berkata kepada kijang yang sudah disembelihnya, "Hiduplah engkau dengan izin Allah.” Kijang itu pun hidup kembali. Si Yahudi merasa takjub melihat keajaiban itu dan berkata, "Mahasuci Engkau ya Allah.” Lalu Isa berkata kepadanya, "Demi Zat yang telah memperlihatkan tanda kebesaran-Nya ini, siapakah yang telah memakan roti yang ketiga?” Si Yahudi menjawab, "Sungguh aku hanya membawa satu potong roti saja.”
Kedua orang itu melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah sungai besar, lalu Isa memegang tangan si Yahudi dan membawanya berjalan di atas air hingga ke seberang sungai. Si Yahudi merasa takjub dan berkata, "Mahasuci Engkau ya Allah!" Isa bertanya kepadanya, "Demi Zat yang telah memperlihatkan tanda kebesaran-Nya ini, siapakah pemilik roti yang ketiga? ” Si Yahudi menjawab "Sungguh demi Allah, aku hanya membawa sepotong roti saja.” Kemudian mereka melanjutkan perjalanan hingga di sebuah kampung besar yang porak poranda. Tiba- tiba di dekat mereka ada tiga bongkahan besar emas, lalu Isa berkata kepada Yahudi, "Satu bongkahan emas untukku, satu bongkahan emas untukmu, dan sebongkah lagi untuk pemilik roti yang ketiga.” Maka si Yahudi berkata, "Akulah pemilik roti yang ketiga. Aku telah memakannya saat engkau melaksanakan shalat.” Isa berkata kepadanya, "Ambilah emas ini untukmu semua!” Lalu Isa meninggalkannya seorang diri. Si Yahudi itu tidak mempunyai alat untuk membawa emas itu. Sehingga, ia hanya bisa menungguinya.
Tak lama kemudian datang tiga orang jahat. Melihat si Yahudi menunggui emas, mereka lalu membunuh si Yahudi dan mengambil bongkahan emas itu. Dua orang dari mereka berkata kepada yang lain, "Pergilah ke kampung dan bawalah makanan untuk kami!" Maka orang yang disuruh membeli makanan itu pergi sambil berkata dalam hatinya, "Aku akan menaruh racun pada makanan mereka sehingga mereka berdua mati dan aku bisa menikmati emas itu sendirian.” Maka orang itu pun melaksanakan niat yang dibisikkan setan, kemudian datang menemui kedua orang temannya. Saat ia datang membawa makanan, ia dibunuh kedua orang temannya. Mereka menyantap makanan beracun itu tanpa menaruh curiga hingga akhirnya mereka berdua mati keracunan di dekat bongkahan emas.
Beberapa hari kemudian Isa a.s. lewat di tempat itu. Tatkala ia melihat keempat orang itu mati tergeletak di dekat bongkahan emas, ia berkata kepada pengikutnya (Ha- wariyyun), "Seperti inilah dunia memperlakukan penghuninya. Maka hati-hatilah terhadapnya.”
Keserakahan pastilah menuai bencana, maka hati-hatilah terhadapnya.
'EORANG anak lelaki duduk bersama kakeknya di beranda sebuah rumah pertanian. Mereka mendengar suara deru mobil yang sedang menuruni jalan becek yang jarang dilalui di dekat rumah tersebut. Ketika pengemudi mobil yang berplat nomor merah, melihat mereka di beranda depan, dia berhenti untuk menanyakan arah menuju ke kota terdekat.
Sesudah menerima petunjuk arah dari orang tua itu, si pengemudi kembali ke mobilnya. Ketika baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba ia berbalik dan dengan canggung bertanya kepada lelaki tua itu,
’’Katakan Tuan, orang macam apakah yang tinggal di sekitar sini?
"Mengapa kamu bertanya demikian?” jawab sang kakek.
Setelah mendekat beberapa langkah, orang asing itu berkata, ’Saya baru saja meninggalkan sebuah kota yang masyarakatnya adalah sekelompok orang-orang yang sombong. Saya belum pernah bertemu dengan orang-orang yang kurang bersahabat seperti itu dalam hidup saya."
Orang asing itu melanjutkan,
"Saya tinggal di kota itu lebih dari setahun dan tidak pernah sekalipun saya merasa sebagai bagian dari masyarakat itu.”
"Saya kira seperti itu pulalah keadaan yang akan engkau temui pada masyarakat di sekitar sini,” jawab lelaki tua
itu. Orang asing itu mengucapkan selamat tinggal dan berlalu. Cucunya terheran-heran, tetapi tidak mengatakan apa-apa.
Beberapa jam kemudian, mobil lain berhenti di depan rumah pertanian itu di saat keduanya masih duduk di beranda. Pengemudinya seorang wanita, dengan senyum ramah di wajahnya,
berjalan cepat mendekati beranda dan menanyakan arah ke kota yang sama. Sesudah mencatat petunjuk dengan teliti, dia pun bertanya, "Katakan orang-orang macam apakah yang berada di sekitar sini?" Sekali lagi, orang tua itu bertanya, "Mengapa kamu bertanya demikian?”
"Tahukah Anda, saya baru saja dari satu kota kecil yang indah sekali, yang pasti didambakan setiap orang,” jawab wanita itu sambil tersenyum. "Masyarakatnya membuat saya merasa seperti berada di rumah sendiri. Tetangga-tetangga sangat baik. Saya merasa sangat senang di sana. ”
"Baik," kata lelaki tua itu, "Engkau akan menemukan orang-orang yang sama baiknya di sekitar sini.”
Wanita itu masuk ke dalam mobilnya dan berlalu. Anak lelaki itu berpaling pada kakeknya dengan ekspresi bingung dan bertanya, "Kakek, kenapa memberi jawaban yang berbeda kepada dua orang asing itu untuk pertanyaan yang sama?"
Sambil menepuk-nepuk bahu anak itu sang kakek menjawab, "Karena cucuku, sikap orang terhadap suatu masyarakatnyalah yang menentukan bagaimana masyarakat bersikap terhadap mereka. Orang-orang di seluruh dunia sama baiknya. ”
Masyarakat adalah cermin yang memantulkan sikap kita pada mereka.
^UATU hari, Abu Hurairah r.a., sahabat Rasulullah saw., yang terkenal sebagai Ahlu Shuffah (mereka yang tinggal dekat masjid Nabi) merasa sangat lapar sekali. Namun, sebagai sahabat yang memiliki sifat iffah, ia tidak menampakkan keadaannya apalagi meminta-minta. Saking laparnya jalannya pun tampak gontai. Ia duduk menunggu sahabat yang lewat di tempat yang biasanya dilewati para sahabat.
Maka tunggu punya tunggu, datanglah si fulan sahabat Rasulullah saw.. Segera Abu Hurairah menegurnya. "Assalamu’alaikum. Knifa khaluk ya fulan?” kata Abu Hurairah, ’’Bagaimana, apa kau baik-baik saja?”
”Wa 'alaikum salam, yaAbu Hurairah, "jawab si fulan, "'Alakullihal alhamdulillah. Bagaimana dengan engkau, ya Abu Hurairah." Setelah saling tegur sapa, maka Abu Hurairah mulai menyampaikan maksudnya.
"Begini fulan. Aku ada satu persoalan agama yang ingin aku diskusikan dengan engkau,” katanya. "Namun, aku berharap kita mendiskusikannya di rumah engkau saja, agar lebih tenang dan dapat pemecahan yang baik,” lanjutnya.
Si fulan yang tampaknya sedang tergesa-gesa karena suatu urusan yang akan dikerjakannya, tampak bimbang. Sebenarnya ia ingin memenuhi ajakan Abu Hurairah, apalagi ini untuk mendiskusikan satu persoalan agama. Meski demikian, ia memutuskan untuk menunda diskusi itu.
"Wahai Abu Hurairah,” katanya. "Sebenarnya aku sangat senang menerima tawaran engkau. Apalagi engkau akan mengajakku mendiskusikan suatu persoalan agama. Tapi, waktuku hari ini sangat sempit.
Ada satu urusan yang harus
segera aku selesaikan,” lanjutnya. "Bagaimana kalau setelah urusanku selesai aku menemuimu kembali dan kita diskusikan masalah itu? Bagaimana Abu Hurairah?” tanyanya menegaskan.
Setelah merenung sejenak, Abu Hurairah menjawab, "Ya itu juga baik. Silakan engkau selesaikan urusanmu. Semoga Allah swt. mempermudah segala urusanmu, ” doanya. "Nanti, setelah itu kita bertemu kembali insya Allah," katanya. Maka berpisahlah mereka sambil mengucapkan salam.
Kemudian datang sahabat yang lain. Setelah saling mengucapkan salam dan bertegur sapa, Abu Hurairah menyampaikan maksudnya.
Seperti sahabat yang pertama, sahabat ini juga tidak mempunyai waktu yang luang karena harus menyelesaikan urusannya dengan segera. Maka mereka pun berpisah.
Abu Hurairah termenung sambil menahan rasa lapar yang semakin menggigit dan membuat jalannya semakin gontai. Tak lama kemudian, tampak dari kejpuhan Rasulullah saw. datang ke arahnya. Dengan gembira Abu Hurairah menyongsong Nabi dan memberi salam. Rasulullah saw. menjawab salam Abu Hurairah dengan lembut.
Rasulullah saw. terus memandangi kondisi Abu Hurairah. Tampak getaran tubuh Abu Hurairah yang lemas dan pancaran mata yang lesu. Maka pahamlah Nabi bahwa Abu Hurairah tengah kelaparan. Belum sempat Abu Hurairah menyampaikan maksudnya, maka Nabi pun langsung mengundang Abu Hurairah untuk segera datang ke rumahnya dan makan bersama. "Ya Abu Hurairah, tinimbang engkau berdiam di sini, bagaimana kalau engkau aku undang untuk makan bersama denganku,” kata Nabi.
Bukan main gembiranya Abu Hurairah. Belum sempat ia mengutarakan niatnya, Rasulullah saw. telah mengundangnya makan. Dengan wajah berseri berjalanlah Abu Hurairah mengiringi Rasulullah saw. pulang.
Ada banyak yang dapat diungkap dengan ketajaman hati, meski dia tak terucap atau terekspresikan.
[1] Abbas as-Sisiy, Ikhwanul Muslimin dalam Kenangan (Jakarta: GIP, 2001).